Rabu, 14 Mei 2008

Kitab Kasyfu Syubuhat Kitab Takfir? (Bagian 3)

Ketika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan argumentasinya dengan firman Allah Ta’ala :

Katakanlah:” Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab:” Allah”. Maka katakanlah:” Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya ).” (Yunus, 31)

Dan juga ayat-ayat semisal ini AbuSalafy mengomentari sebagi berikut :

Sekali lagi di sini Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb memberikan gambaran menarik tentang kaum Musyrikûn. Ia tidak menyebutkan berbagai keburukan kaum Musyrikûn. Di sini ia hanya menyebut ayat-ayat yang menunjukkan kepercayaan global kaum Musyrikûn bahwa Allah Pencipta dan Pemberi rizki. Sementara itu pernyataan mereka itu bisa saja mereka sampaikan dalam rangka membela diri di hadapan hujatan tajam Al Qur’an, bukan muncul dari i’tiqâd dan keimanan. Sebab jika benar keyakinan mereka itu, pastilah meniscayakan mereka menerima keesaan Allah dan karasulan Nabi Muhammad saw. serta konsistensi dalam menjalankan berbagai ibadah yang diajarkannya. Karenanya, Allah SWT memerintah Nabi-Nya agar mengingatkan mereka akan konsekuansi dari apa yang mereka nyatakan itu; Maka katakanlah: ”Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).” dan. Katakanlah: ”(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu.”?!

Komentar saya adalah berikut :

Mengenai syaikh yang seolah-olah hanya menyebutkan kebaikan oleh orang-orang musyrik waktu itu sudah jelas karena fokusnya adalah Tauhid Uluhiyyah. Kalau menyebutkan keburukan-keburukan orang-orang kafir yang selalu menghalangi dakwah Rasulullah, memerangi beliau dan orang-orang yang mengikuti beliau itu sudah jelas dan kalau dijelaskan keburukan kaum musyrikin waktu itu bisa jadi malah nanti yang dibuat adalah Sirah Nabawiyyah, bukan membahasa masalah Tauhid. Sekali lagi syaikh ingin ,menjelaskan duduk permasalahan masalah Tauhid yang menimpa umat islam dibandingkan dengan pemahaman orang musyrik waktu itu.

Pernyataan :

Sementara itu pernyataan mereka itu bisa saja mereka sampaikan dalam rangka membela diri di hadapan hujatan tajam Al Qur’an, bukan muncul dari i’tiqâd dan keimanan”

Pernyataan AbuSalafy ini saya rasa hanya pandangannya saja tanpa didasari bukti yang konkrit dari Al Qur’an maupun As-Sunnah. Berdasarkan bukti-bukti dalam Al Qur’an pandangan abuSalafy bahwa orang musyrik itu hanya membela diri dihadapan hujatan tajam Al Qur’an adalah salah.

Seperti kita ketahui bahwa Agama bangsa Arab merupakan peninggalan Nabi Ibrahim alaihissalam. Pertama kali munculnya penyembahan terhadap berhala adalah saat munculnya Amr bin Luhay, pemimpin bani Khuza’ah. Dia tumbuh dan dikenal sebagai orang yang berbuat bijak, mengeluarakan sedekah dan menghormati urusan agama. Kemudian dia pergi ke syam dan disanalah dia melihat penduduk syam menyembah berhala dan mengangap perbuatan itu adalah hal yang baik, sebab menurutnya syam adalah tempat para Rasul dan Kitab. Maka dia pulang sambil membawa Hubal dan meletakkanya di ka’bah.

Berhala-berhala orang-orang arab adalah Manat yang berada di Musyallah di tepi laut merah di dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Latta di Thaif dan Uzza di Wadi Nahlah. Setelah ketiga berhala inilah kemusyrikan merajalela dan berhala-berhala lebih kecil bertebaran di setiap temat Hijaz. Kemudian Amr bin Luhay menemukan berhala-berhala kaum Nuh (Wud, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) yang terpendam di Jiddah dan membawanya ke Timamah dan pada musim haji dia menyerahkan berhala itu kepada berbagai kabilah.

Dan akhirnya kemusyrikan merata disana. Mereka menyembah Allah dan juga menyembah kepada berhala-berhala itu dengan keyakinan akan mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu Allah berfirman :

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai persangkaan mereka. Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami. Maka sajian-sajian yang diperuntukkan untuk berhala itu tidak sampai kepada Allah dan sajian-sajian yang diperuntukkan bagi Allah maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu” (QS Al An’am : 136)

Ayat ini menyangkal bahwa kaum musyrikin waktu itu hanya membela diri dan bukan muncul dari I’tiqad dan keimanan. Karena sudah sangat jelas disini bahwa kaum musyrikin memperuntukkan satu bagian dari tanaman dan ternak mereka untuk Allah. Dengan kata lain mereka yakin bahwa Allah dalah Rabb (Tuhan) mereka akan tetapi mereka juga memberikan yang lainnya untuk berhala-berhala mereka.

Ketika Allah berfirman “Maka sajian-sajian yang diperuntukkan untuk berhala itu tidak sampai kepada Allah” memberikan gambaran pada kita bahwa apa yang dilakukan kaum musyrikin waktu itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena tujuan akhir dari penyembahan berhala mereka adalah untuk Allah. Akan tetapi Allah mengingkari hal ini dengan firmannya.

Dan juga ayat :

“Dan mereka mengatakan, inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang, tidak boleh memakannya kecuali orang-orang yang kami kehendaki menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamakan menungganginya, dan binatang ternak yang mereka tidak mnyebut nama Allah ketika menyembelihnya semata-mata membuat kedustaan kepada Allah” (QS Al An’am : 138)

Dari segi ilmiah Apakah Allah akan menyatakan bahwa kaum musyrikin membuat kedustaan terhadapnya sedangkan kaum musyrikin tidak memiliki I’tiqad kepada Allah sama sekali ? Sesuatu yang logis bahwa kaum musyrikin mengimani Allah akan tetapi mereka membuat-buat sesuatu sesuai pikirannya (anggapan mereka) dan menganggap itu suatu yang baik. Oleh karena itu Allah mengingkari mereka.

Dan juga firman Allah Ta’ala :

“Allah sama sekali tidak mensyariatkan adanya bahirah, sa’ibah, washilah, dan hami, tetapi orang-orang kafir membuat kedustaan terhadap Allah dan kebanyakan mereka tidak mengerti” (QS : Al An’am 139)

Orang-orang musyrik menganggap adanya bahirah, sa’ibah, washilah, dan hami adalah sesuatu yang baik menurut Allah (menurut anggapan mereka saja) akan tetapi Allah mengingkari mereka. Sekali lagi ini adalah dalil lain bahwa orang-orang musyrik itu paham tentang tauhid rububiyah, yaitu Allah sebagai Rabb (Tuhan) yang mencipta alam, member rizky dll.

Bahirah adalah anak sa’ibah yaitu onta yang memiliki sepuluh anak yang semuanya betina dan sama sekali tidak memiliki anak jantan. Onta ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya dan susuntya idak boleh diminum kecuali tamu jika kemudian melahirkan lagi anak betina maka telinnya dibelah dan dilepaskan bersama induknya dan diperlakukan yang sama dengan induknya. Al Washillah adalah betina yang mempunya lima anak kembar secara berturut-turut.

Ketika syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan :

Tauhid yang diseru Nabi ini adalah arti perkataan Anda: Lailaha Illallah, karena Ilâh (tuhan) menurut mereka adalah apa yang mereka tuju baik dari para malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, atau jin. Mereka tidak bermaksud bahwa Ilâh itu adalah pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta, karena mereka mengetahui bahwa ketiga-tiganya milik Allah saja sebagaimana telah saya sebutkan tadi. Akan tetapi Ilâh/tuhan yang dimaksudkan oleh mereka adalah sosok yang oleh kaum Musyrikin di masa kami disebut dengan kata Sayyid.

AbuSalafy memberikan komentar :

Dalam paragraf ini terdapat pengafiran yang terang-terangan terhadap kaum Muslimin yang hidup di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab istilah Sayyid yang secara harfiyah beratikan tuan telah digunakan kaum Muslimin di sepanjang sejarah Islam sebagai sebutan/gelar bagi seorang dari keturunan/Ahlulbait Nabi saw. dan tidak sedikit umum kaum Muslimin memakainya untuk seorang shaleh yang diyakini akan keberkahanya, ia memberikan doa untuk keberkahan, kesembuhan atau keselamatan dll. Dan menggunakan kata Sayyid untuk arti di atas tidak sediktipun mengandung kemusyrikan atau kekafiran, bahkan tidak makruh apalagi haram hukumnya!

Hadis yang menyebut adanya larangan menggunakan kata tersebut untuk selain Allah SWT. masih diperdebatkan kesahihannya. Bahkan terbukti bahwa Khalifah Umar bin al Khaththab berkata: “Abu Bakar Sayyid kami telah memerdekakan sayyid kami Bilal.”

Komentar saya sebagai berikut :

Dimana kalimat yang mengatakan bahwa Syaikh mengkafirkan kaum muslimin dimasanya ? Sepenglihatan mata saya yang dikatakn syaikh adalah bahwa sosok yang disembah kaum musyrikin pada masanya adalah apa yang disebut sayyid. Dari sini sebenarnya jelas bahwa oleh orang-orang musyrik yang disebut sayyid pasti bukan sembarangan. Mereka pastinya adalah kalangan yang dianggap ahli ilmu diantara mereka, wali Allah, atau orang-orang shalih. Inilah yang dimaksud syaikh bahwa orang-orang musyrik itu bertaqarrub kepada sayyid (orang-orang shalih –red)

Saya pribadi sangat menyesalkan sikap abuSalafy ketika mengkritik bahwa hadits mengenai kata sayyid untuk selain Allah masih diperdebatkan akan tetapi disisi lain dia justru mengutarakan hadits tentang penggunaan kata sayyid akan tetapi tidak memberikan keterangan sama sekali ini hadits siapa yang meriwayatkan, ada di kitab mana dll ? bagaimana orang bisa tahu ini hadits asli apa palsu ? ini shahih atau tidak ?. Seorang berilmu yang mengkritik suatu keshahihan hadits harusnya dia akan menyampaikan dalilnya secara lengkap bukan menghilangkan sanad seperti hadits yang disebutkan abusalafy diatas. Sesuatu yang tidak masuk akal untuk sebuah kritik karena bagaimana mungkin orang yang tidak menyertakan sanad suatu hadits dalam pendapatnya bisa dipercaya untuk memperdebatkan masalah keshahihan hadits.

Kemudian abuSalafy melanjutkan dalil dengan menyebutkan firman Allah :

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya): ”Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, dan menjadi sayyidan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang- orang saleh.” (QS. Âlu ‘Imrân [3]; 39)

Mujahid dan lainnya berkata, “Sayyidan maknanya karîm, mulia di sisi Allah –Azza wa Jalla-”

Ini merupakan dasar lain yang dikemukakan abuSalafy untuk memperkuat hujjahnya tentang penyebutan kata sayyid kepada selain Allah. Komentar saya tentang hal ini adalah apakah sesuatu yang disebut Allah maka secara otomatis dia layak diberi gelar Sayyid ?. Kalau menurut bahasa arab yang saya ketahui sayyidan itu jelas maknanya adalah orang yang mulia akan tetapi kata sayyid itu adalah untuk panggilan. Menggunakan dalil diatas sama saja memaksakan dua hal yang berbeda untuk disamakan.

AbuSalafy juga berkomentar :

Dan tidak ada larangan dalam penggunaan kata sayyid seperti juga kata rab untuk selain Allah SWT selama ia dipergunakan dalam arti yang tidak menyalai kemurnian penghambaan dan Tauhid.

Suatu kesalahan fatal terutama tentang penyebutan nama Rab kepada selain Allah. Sesungguhnya saya tidak pernah menemui diantara para sahabat dan tabi’in yang memanggil Rasulullah dengan sebutan Rab.

Kemudian abuSalafy mengemukakan pendapatnya :” Tidak Semua Kaum Musyrik Mengakui Allah Sebagai Khaliq” dengan berdasarkan firman Allah :

Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga- duga saja.”(QS.al Jâtsiyah [45] :24)

Sepertinya abuSalafy memiliki kerancuan pemahaman mengenai orang musyrik yang kafir dan tentang orang-orang yang benar-benar kafir (tidak mengakui Tuhan). Karena suatu hal yang aneh menggunakan dalil dari Al Qur’an diatas untuk orang-orang musyrik. Yang namanya orang-orang musyrik pasti memiliki kepercayaan kepada Tuhan/berhala (walaupun dengan konsep yang salah) sedangkan yang dinyatakan ayat diatas adalah orang-orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Sangat jelas mereka itu orang-orang kafir murni (Atheis).

Yang kedua abuSalafy mengingkari pernyataannya sendiri pada pembahasan sebelumnya bahwa “Sementara itu pernyataan mereka itu bisa saja mereka sampaikan dalam rangka membela diri di hadapan hujatan tajam Al Qur’an, bukan muncul dari i’tiqâd dan keimanan” pada bagian sebelum ini karena dengan pernyatannya diatas maka seolah-olah ada orang musyrik yang mengakui Allah sebagai Rab (Tuhan) dan itulah yang benar menurut kami bahwa orang-orang musyrik mengakui Allah sebagai Rab (Tuhan).

Kitab Kasyfu Syubuhat Kitab Kafir ? (Bagian 2)

AbuSalafy menyatakan,

Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb hendak mengesankan kepada kita bahwa ajakannya adalah kelanjutan dari ajakan para Nabi as. Atau ia ingin membangun opini bahwa para Nabi dan Rasul as. itu tidak diutus oleh Allah SWT kecuali kepada kaum yang berg-huluw kepada kaum shâlîhîn semata! Atau bahwa kesalahan terbesar yang menjerumuskan mereka ke dalam lembah kemusyrikan hanyalah berghuluw kepada kaum shâlîhîn! Seperti yang ia tegaskan dalam kitab at Tauhid-nya dengan menulis sebuah bab dengan judul, “Bab bukti-bukti yang datang bahwa sebab yang membawa bani Adam kepada kekufuran dan meninggalkan agama mereka adalah ghuluw terhadap. kaum shâlîhîn.” (Syarah Ibnu Utsaimin atas Kasyfu asy-Syubuhât:15).

Ini semua tidak benar dan tidak berdasar, sebab pada kenyataannya mereka menyekutukan Allah dan menyembah berhala-berhala. Dan ini sudah cukup untuk menjadi alasan kemusyrikan mereka. Sementara itu, lawan-lawan ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb yang membantah alasan-alasannya dan yang ia kafirkan serta ia perangi adalah kaum Muslimin yang mengesakan Allah dan tidak menyembah selain-Nya, akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa ber-tabarruk dengan para shâlîhîn, yang sementara ini divonis syirik olehnya. Karenanya, Syeikh banyak mengulang poin ini dalam banyak kesempatan.

Komentar saya,

Memang benar syaikh Muhammad Bin Abdul wahhab mengatakan bahwa kesalahan terbesar yang menjerumuskan ke lembah kemusyrikan adalah sikap Ghuluw terhadap orang shalih akan tetapi sangat mengada-ngada kalau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan bahwa Rasulullah tidak diutus kecuali kepada kaum yang berghuluw saja. Point utama yang dibahas syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Tauhid Uluhiyyah (mengesakan Allah saja dalam beribadah –red), dan dalam masalah tauhid uluhiyyah kebanyakan tindakan kesyirikan ini dikarenakan sikap berlebihan kita kepada orang shalih.

Pernyataan “Ini semua tidak benar dan tidak berdasar, sebab pada kenyataannya mereka menyekutukan Allah dan menyembah berhala-berhala” saya mengomentasi bahwa apanya yang tidak berdasar ? sebagaimana yang saya kemukakan saya memberi nasehat kepada AbuSalafy silakan dibaca lagi buku syarah Kasyfu Syubuhatnya sebelum melontarkan pernyataan ini.

Mengenai masalah ini dalil yang dikemukakan oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah firman Allah Taala :

“dan jika engkau bertanya kepada mereka (orang-orang musyrik-red), siapakah yang menciptakan langit dan bumi ? , niscaya mereka akan menjawab ‘Yang menciptakan semua itu adalah dzat Yang Maha Perkasa Lagi Maha Mengetahui” (QS Az Zukhruf:9)”

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka , siapakah yang menciptakan mereka ? niscaya mereka akan menjawab ,’Allah’ “(QS Az Zukhruf:87)

“katakanlah, ‘siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang berkuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ? pasti mereka akan menjawab Allah , maka katakanlah , mengapa engka tidak mau bertakwa (kepada-Nya)” (QS Yunus:31)

Dan banyak ayat yang menjelaskan demikian. Ayat ini menjelaskan bagaimana kondisi kaum kafir yang menentang dakwah Rasulullah pada waktu itu. Mereka tidak menentang bahwa Allah Azza Wa Jalla adalah Rabb (Tuhan) seluruh Alam, mereka tidak menentang bahwa Allah adalah Rabb yang mengatur segala urusan. Orang-orang musyrik waktu itu paham apa yang dimaksud Rasulullah ketika diperintahkan “la illahaillahllah” yang dimaksud Rasulullah bukanlah meminta orang musrik waktu itu mengakui ketuhanan Allah akan tetapi menghilangkan penyembahan-penyembahan selain Allah yang mereka yakini untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana firman Allah :

“Katakanlah, La ilaa ha illallah, mereka menjawab ‘apakah dia hendak menjadikan sesembahan yang banyak ini menjadi satu sesembahan saja ? sungguh ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan” (QS: Ash Shad:5)

Padahal sudah jelas mereka tidak mengingkari bahwa Allah lah yang mengatur segala urusan, Allah yang member rizky dan sifat ketuhanan yang lain. Hal ini karena mereka beralasan bahwa penyembahan meraka kepada berhala adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti firman Allah mengenai mereka:

“Mereka (nabi/orang shalih –red) itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah “(QS :Yunus 18)

“Kami tidak beribadah kepada mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS Az Zumar:3)

Di dalam Al Qur’an dikisahkan tentang permintaan kaumnya Musa Alaihissalam, firman Allah Ta’ala:

“Buatkanlah untuk kami Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunya tuhan-tuhan (berhala-berhala)” (QS:Al A’raf)

Saya meyakini bahwa kaum nabi Musa waktu meminta hal tersebut bahwa berhala yang mereka minta itu bisa memberikan rizky maupun hal-hal yang bisa Tuhan lakukan. Tidak demikian, mereka berpikir itu merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah akan tetapi mereka justru terjerumus ke dalam kesyirikan. Ini jugalah yang merupakan kebodohan orang-orang musyrikin pada zaman Rasulullah, mereka mengetahui tentang Allah sebagai Rabb semesta alam, akan tetapi mereka menolak tauhid dalam hal Uluhiyyah (mengesakan Allah dalam hal Ibadah) akan tetapi dengan menyatakan hal tersebut AbuSalafy malah menuduh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memuji kaum musyrikin . Bukan seperti itu wahai abuSalafy, syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ingin menyatakan bahwa umat islam banyak yang tidak mengetahui tentang hakikat tauhid uluhiyyah sedangkan orang musyrik waktu itu justru mengetahui makna dari kata ‘la ilaa ha illallah’

Ketika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan argumentasinya dengan firman Allah Ta’ala :

Katakanlah:” Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab:” Allah”. Maka katakanlah:” Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya ).” (Yunus, 31)

Senin, 12 Mei 2008

Jawaban untuk AbuSalafy

Tulisan ini merupakan komentar saya terhadap AbuSalafy atas komentarnya terhadap tulisan saya


Mengenai patung Syaikh Abdul Qadir Jailani rahimakumullah dan Ahmad Al Badawi saya tidak menemukan literatur khusus yang menjelaskan patung apakah itu. Jadi saya menganggap seperti perkataan saudara abuSalafy bahwa yang dimaksud syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Batu nisan dari beliau berdua.

Saya sependapat dengan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa mengambil berkah dikuburan para wali adalah tindakan kemusyrikan dan saya juga berpendapat seperti syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang tidak mengkafirkan orang yang mencari berkah di kuburan Syaikh Abdul Qadir Jailani dan Ahmad Al Badawi dikarenakan ketidaktahuan mereka atau mereka sudah tahu akan tetapi mereka merasa belum yakin akan kebenaran dari dalil-dalil yang disampaikan kepada mereka.

Kenapa mencari berkah syirik ?

Perlu saya tegaskan saya sama sekali tidak mengingkari adanya syafaat Rasulullah maupun para wali-wali Allah sebagaimana telah dijelaskan pada banyak hadits mengenai syafaat ini. Fokus utama saya adalah mengenai mencari berkah di kuburan para Wali.

Orang mati tidak bisa mendengar

Dari Ibnu Umar berkata : Nabi berdiri di sumur Badar, seraya bersabda : “Apakah kalian mendapatkan kebenaran janji Rabb kalian ?, kemudian beliau bersabda sesungguhnya mereka sekarang mendengarkan apa yang saya ucapkan. Tatkala kabar ini sampai kepada Aisyah, beliau mengatakan :’Sesunguhnya yang dikatakan oleh Nabi adalah : Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui bahwa apa yang Saya ucapkan pada mereka adalah benar’. Kemudian dia membacakan ayat “Sesungguhnya engkau tidak dapat membuat orang yang mati bisa mendengar. (HR Bukhori 1370, Muslim 2873)

Dari Anas bahwasanya Rasulullah membiarkan korban mayat perang Badar (dari kalangan musyrikin) selama tiga hari hingga mereka menjadi bangkai kemudian beliau mendatangi mereka seraya berkata “Wahai Umayyah bin Kholaf, Wahai Abu jahal bin Hisyam, Wahai ‘utbah bin Rabi’ah, wahai Syaibah bin Rabi’ah apakah kalian mendapati kebenaran janji Rabb kalian ? sesungguhnya saya menjumpai janji Rabbku” tatkala umar mendengar ucapan beliau, maka dia berkata : “wahai Rasulullah, engkau memanggil , mereka setelah iga hari, apakah mereka bisa mendengar padahal Allah berfirman :”Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang yang mati itu mendengar”. Nabi bersabda :”Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya. Tidaklah kalian lebih mendengar daripada mereka, tetapi mereka tidak bisa menjawab (Musnad Ahmad 3/287) dengan sanad shahih berdasarkan syarat muslim.

Hadits ini menjelaskan beberapa hal :

§ Orang-orang musyrik yang dibuang di sumur Badar mampu mendengar perkataan Rasulullah

§ Aisyah mengomentari berita ini dengan menyatakan bahwa orang yang mati tidak bisa mendengar sedangkan Umar mempertanyakan masalah ini kepada Rasulullah dengan dalil yang sama dengan Aisyah

§ Rasulullah tidak mengingkari dalil yang diucapkan umar mengenai bahwa orang mati tidak bisa mendengar

Aisyah radiyallahuanha melakukan kesalahan atas kritiknya terhadap rawi yang menyampaikan berita ini kepada beliau. Hal ini karena beliau (Aisyah) tidak melihat sendiri apa yang terjadi sehingga Aisyah mengira bahwa perkataan orang yang menyampaikan berita ini kepada beliau kurang tepat karena bagaimana mungkin orang mati bisa mendengar. Begitulah menurut pendapat Aisyah. Akan tetapi Aisyah tidak salah dalam menetapkan hujahnya berdasarkan surat Ar-Ruum 30 karena memang pada asalnya orang mati tidak bisa mendengar.

Tidak demikian dengan Umar karena beliau ada disitu waktu Rasulullah berkata pada mayat-mayat orang-orang musyrik sehingga Umar perlu mempertanyakan bagaimana bisa orang mati mendengar ?.

Perkataan Aisyah dan Umar mengisyaratkan bahwa orang mati tidak bisa mendengar secara umum berdasarkan ayat suart Ar-Ruum 30. Akan tetapi pada kejadian/waktu tertentu mayat bisa mendengar sesuai dengan perkataan Rasullah dalam beberapa hadits salah satunya hadits diatas. Sebagaimana juga Rasullah menyatakan bahwa mayit mendengar suara sandal orang yang mengantarkan mereka ke kubur. Hal-hal seperti ini adalah pengkhususan kejadian terhadap keumuman ayat.

Hal ini juga disindir oleh Allah Azza Wa Jalla dalam firmannya :

“Jika kamu menyeru mereka (untuk mencari berkah –red), mereka tidak mendengar seruanmu. Dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS Fathir 14)

Yang saya tanyakan adalah, bagaimana mungkin orang yang mati bisa memberikan berkah jika mendengarpun mereke tidak mampu ? Berbeda kasusnya kalau syaikh Abdul Qadir Jailani masih hidup, kita bisa meminta kepada beliau agar mendoakan kita misalnya. Hal seperti adalah wajar dan bukanlah sebuah kesyirikan.

AbuSalafy juga menyatakan bahwa pernyataan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berikut ini :

Musuh jenis ketiga: “Orang yang telah mengetahui tauhid, mencintainya dan mengikutinya. Mengetahui syirik dan menjauhinya, akan tetapi ia benci masuk ke dalam tauhid dan tetap suka berada di atas kemusyrikan. Orang ini juga kafir! Sebagai bentuk pengkafirn kepada seluruh umat islam yang tidak mengikuti ajakan beliau.

Sepertinya AbuSalafy masih belum memahami perkataan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dimana beliau berkata :

“Aku hanya mengkafirkan orang yang telah mengetahui Agama Rasulullah Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam kemudian setelah dia mengetahuinya lantas mengejeknya, melarang manusia dari memeluk agama tersebut dan memusuhi orang yang berpegang dengannya. Tetapi kebanyakan umat –alhamdulillâh- tidaklah seperti itu”. (Ad Durarus Saniyyah : 1/73)

Bukankah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan tetapi kebanyakan umat – Alhamdulillah - tidak seperti itu ?. Ini menunjukkan bahwa golongan orang yang mengetahui Tauhid akan tetapi lantas ia mengejeknya dan tetapi berada diatas kemusyrikan adalah sangat sedikit bukan kebanyakan umat. Saya pribadi belum pernah menjumpai golongan ini ditempat saya. Disini ada dua golongan yang saya temui:

1. Orang yang belum mengetahui tentang tauhid sehingga terperosok kedalam tindakan kemusyrikan

2. Orang yang sudah mengetahui dalil-dalilnya akan tetapi belum meyakini bahwa dalil-dalil yang dikemukakan adalah benar karena adanya syubhat disana-sini

Dan saya tidak mendapati syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan orang-orang semacam ini.

Mengenai halaman buku yang abuSalafy tunjukkan kepada saya mohon maaf sepertinya saya tidak menemukan hal-hal yang dituduhkan abuSalafy pada halaman tersebut. Ini kemungkinan karena perbedaan kitab yang menjadi pegangan

Kitab pegangan saya :

Syarah Kasyfu Syubuhat dilengkapi dengan Syarah Ushulus Sittah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yang diterbitkan oleh media hidayah karang asem CT III/3 Yogyakarta) yang pada pengantarnya tertanggal Juni 2004. Mohon maaf atas kekurangannya

Dan perlu menjadi kehati-hatian bahwa ada segolongan yang mengaku sebagai salafy akan tetapi pada hakikatnya kami (salafy) tidak semanhaj dengan mereka. Ciri utama mereka adalah begitu mudahnya mereka mengkafirkan orang yang berbuat kemusyrikan. Menganggap bahwa Negara ini adalah Negara Taghut dan lain-lain. Maka ketahuilah mereka bukan bagian dari kami meskipun mereka juga mengaku sebagai salafy. Sehingga nantinya jangan salah tuduh kepada kami atas apa yang dilontarkan golongan tersebut atas nama kami

Sekian terima kasih atas perhatiannya

Senin, 28 April 2008

Kitab Kasyfu Syubuhat Kitab Kafir ? (Bagian 1)

Bismillahirahmaanirrahiim

Sebelumnya aku memohon ampun kepada Allah jika nantinya pada tulisanku ini terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak saya ketahui. Bagi pembaca saya persilakan untuk mengkritik kesalahan saya.

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah blog milik AbuSalafy yang mengatakan bahwa kitab KASYFU SYUBUHAT merupakan kitab yang syarat dengan pengkafiran terhadap kaum muslimin. Kitab ini merupakan kitab karangan syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab.

Dalam blog salafy disebutkan sebagai berikut :

Kitab Kasyfu asy-Sybubuhât adalah sarat dengan doktrin pengafiran atas kaum Muslimin selain kelompok Wahhabi (yang tunduk menerima ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb). Ia telah mengkategorikan banyak hal yang bukan syirik ke dalam daftar kesyirikan! Dan atas dasar itu ia mengafirkan dan menvonis musyrik selain kelompoknya.

Dalam buku kecil itu, Ibnu Abdil Wahhâb telah menyebut umat Islam, seluruh umat Islam, baik awam maupun ulamanya dari berbagai mazhab dan golongan selain kelompoknya dengan sebutan musyrikan tidak kurang dari dua puluh empat kali. Sementara itu, lebih dari dua puluh lima kali ia menyebut kaum Muslimin dengan sebutan yang sangat keji dan kotor.

Komentar Saya ,

Semoga AbuSalafy diberi petunjuk oleh Allah mengenai kesalahannya ini, Saya juga menyarankan AbuSalafy untuk membaca buku itu sekali lagi dengan cermat, dengan membaca setiap penjelasan dari setiap pernyataan yang ada dan kalu perlu silakan baca buku-buk syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang lain sehingga AbuSalafy bisa lebih memahami apa yang dimaksud Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Saya disini mengasumsikan bahwa AbuSalafy telah membaca buku Kaysfu Syubuhat, saya juga membaca buku syarah Kasyfu Syubuhat karangan syaikh Utsaimin yang merupakan penjelas dari kita Kasyfu Syubuhat .

Ketika syaikh Utsaimin menjelaskan mengenai perkataan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab “ketahuilah bahwa tauhid adalah …..” - yang merupakan pernyataan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang pertama-tama dalam kitabnya – dengan mendefinisikan tentang ilmu dan tingkatan-tingkatannya. Ini sangat penting karena masalah ilmu ini akan menentukan bagaimana kaidah pengkafiran. Suatu pengkafiran adalah yang sangat berat bahkan Rasulullah menyatakan barang siapa menuduh kafir sauadaranya dan ternyata saudaranya tidaklah akfir maka kekafiran itu akan kembali kepadanya.

Saya juga sudah menuliskan panjang lebar mengenai kaidah pengkafiran ini dalam kesempatan sebelumnya yang bisa saudara baca di http://abuhasanmustofa.blogspot.com/2007/11/sebuah-pra-kata-sebelum-memulai-segala.html

Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarah Kasyfu Syubuhat mengatakan

“ Tuduhan bahwa kami mengkafirkan secara umum, mewajibkan orang yang mampu menampakkan agama kepada kami, atau mengkafirkan orang yang tidak mau mengkafirkan (seseorang yang layak dikafirkan) dan orang yang tidak mau berperang semuanya merupakan kebohongan dan hanya akan menghalangi manusia menaati agama Allah dan Rasulnya.

Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyembah patung yang ada di kuburan Aldul Qadir dan Ahmad Al Badawi atau kuburan lainnya karena ketidaktahuan mereka atau tidak adanya orang yang memberi peringatan kepada meraka, maka bagaimana mungkin kami mengkafirkan orang yang tidak menyekutukan Allah akan tetapi tidak berhijrah kepada kami, atau orang yang tidak mau mengkafikran (orang yang layak dikafirkan) atau tidak mau berperang ?”

Syaikh Utsaimin menjelaskan banyak dalam masalah pengkafiran ini kemudian beliau menyatakan

”Memang benar, kita mendapati ulama salaf dan para imam mengkafirkan seseorang yang menyatakan begitu dan begitu. Akan tetapi mereka menetapkan secara global, bukan secara orang per orang. Jadi kita harus membedakan antara pengkafiran secara global dan orang per orang.

Pengkafiran merupakan suatu ancaman, meskipun terkadang ucapan seseorang kadang mendustakan Rasulullah, tetapi bisa jadi orang tersebut baru masuk islam, atau tinggal di Negara yang jauh dari dakwah islam. Olek karena itu orang semacam ini tidak boleh dikafirkan karena ucapannya sebelum dia tahu mana yang benar dan mana yang salah. Atau boleh jadi orang tersebut belum mendengar dalil-dalilnya, atau dia telah mendengar akan tetapi dalil tersebut tidak kuat menurutnya, atau dia membantah dalil tersebut dengan alasan-alasan yang mengharuskan dia mentakwilnya, sekalipun mungkin salah”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan :

Pendapat orang bahwa saya mengkafirkan secara umum adalah termasuk kedustaan para musuh yang menghalangi manusia dari agama ini, kita katakan : Maha Suci Engkau Allôh, ini adalah kedustaan besar”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 100)

Mereka menisbatkan kepada kami berbagai macam kedustaan, fitnah pun semakin besar dengan mengerahkan terhadap mereka pasukan syetan yang berkuda maupun yang berjalan kaki. Mereka menebarkan berita bohong yang seorang yang masih mempunyai akal merasa malu untuk sekedar menceritakannya apalagi sampai tertipu. Diantaranya apa yang mereka katakan bahwa aku mengkafirkan semua manusia kecuali yang mengikutiku dan pernikahan mereka tidak sah. Sungguh suatu keanehan, bagaimana mungkin perkataan ini bisa masuk kedalam pikiran orang waras. Dan apakah seorang muslim akan mengatakan seperti ini? Aku berlepas diri kepada Allôh dari perkataan ini, yang tidak bersumber kecuali dari orang yang berpikiran rusak dan hilang kesadarannya. Semoga Allôh memerangi orang-orang yang mempunyai maksud-maksud yang batil”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 80)

Aku hanya mengkafirkan orang yang telah mengetahui agama Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam kemudian setelah dia mengetahuinya lantas mengejeknya, melarang manusia dari memeluk agama tersebut dan memusuhi orang yang berpegang dengannya. Tetapi kebanyakan umat –alhamdulillâh- tidaklah seperti itu”. (Ad Durarus Saniyyah : 1/73)

Selasa, 11 Desember 2007

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah (bagian 3)

Ibnu Taimiyah tidak pernah menyampaikan ilmunya di atas mimbar sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Bathutah. Malah Beliau tidak pernah berkutbah di atas mimbar walau Ibnu Bathutah berkata: “Dia turun dari tangga-tangga mimbar”.

Tuduhan yang paling tidak teliti adalah bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan istiwa allah sebagaimana duduk bersilanya beliau, sedangkan tidak terdapat di dalam kitab-kitabnya yang memaknai istiwa sebagaimana yang dituduhkan para pemfitnah.

Kenyataan yang sebenarnya Ibnu Taimiyah sepakat dan sependapat serta seakidah dengan para ulama salaf as-shaleh yaitu: “Allah bersemayam di atas Arasy-Nya dan Arasy-Nya berada di atas langit”. Ini bermakna Allah bertempat di langit sebagaimana penjelasan para ulama Salaf as-Shaleh berikut ini:

  • Berkata al-Imam Abu Hanifah rahimahullah: “Siapa mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata al-Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir karena Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas Arasy al Istiwa”. (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Berkata al_imam Malik rahimahullah: “Allah beraa di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun dari pada-Nya”. (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 140. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Berkata al-Imam as-Syafi’i rahimahullah: “Sesungguhnya Allah di atas Arasy-Nya dan Arsy-Nya di atas langit.” (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 179. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Berkata al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah: “Benar! Allah di atas Arasy-Nya dan tidak sesiapapun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya”. (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 188. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Atsar Imam Ibnu Khuzaimah pula menjelaskan: “Barangsiapa tidak menetapkan Allah Ta’ala di atas Arasy-Nya dan Allah istiwa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhan-Nya”. (Lihat: Ma’rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh Hakim)
  • Atsar Syaikhul Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah menjelaskan: “Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada di tiap-tiap tempat. Bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni di atas Arasy sebagaimana Ia telah berfirman: Ar-Rahman di atas Arasy, Ia beristiwa. (Qs. Thaha: 5). Dan patutlah memutlakkan sifat istiwa tanpa takwil, sesungguhnya Allah istiwa dengan Zat-Nya di atas Arasy. Keadaan-Nya di atas Arasy disebut pada tiap-tiap kitab yang Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya): Bagaimana caranya (Allah istiwa di atas Arasy-Nya)?”. (Lihat Fatawa Hamwiyah Kubra. Hlm. 84).
  • Berkata al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah: “Di atas langit-langit itulah Arasy, maka tatkala Arasy berada di atas langit-langit Allah berfirman: Apakah kamu merasa aman terhadap Zat yang berada di atas langit? Sesungguhnya Ia istiwa (bersemayam) di atas Arasy yang berada di atas langit dan tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan ‘As-Sama (langit), maka arasy berada di atas langit. Bukanlah yang dimaksudkan di dalam firman: Apakah kamu merasa aman terhadap Zat yang berada di atas langit? Bukan di seluruh langit! Tetapi Arasy-Nya yang berada di atas langit.” (Lihat: Al-Ibanah an-Usul ad-Dainah. Hlm. 48)

Dari hujah-hujah di atas, amatlah jelas, bahwa larangan mentakwil terhadap sifat-sifat Allah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah disepakati pula oleh seluruh ulama dari kalangan Imam-imam mazhab fiqih dan akidah yang antara lain: Maliki, Hambali, Hanafi, as-Syafi’I, abu Hasan al-Asy’ari, Ibnu Khuzaima dan lain-lainnya tetapi ditentang oleh orang-orang yang tidak senang terhadapnya.

  • Berkata pula Imam Ibnu Khuzaimah (dari kalangan ulama as-Safi’iyah): “Kami beriman dengan berita dari Allah Jalla wa-Ala sesungguhnya Pencipta kami Ia beristiwa (bersemayam) di ataas Arasy-Nya. Kami tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan peerkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan Jahmiyah yang pernah berkata: Sesungguhnya Dia istiwla (menguasai) Arasy-Nya bukan istiwa!! (bersemayam). Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, ini menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintah mengucapkan: Hithtatun Ampunkannlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah): Hinthah (makanlah gandum)! Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi maka seperti itulah (perbuatan kaum) Jahmiyah”. (Lihat: Kitabut Tauhid fi ithbatis Sifat. Hlm. 101. Ibnu Khuzaimah).

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah (bagian 2)

Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah ketika ditanya tentang bagaimana agar kita mengetahui di mana Allah? Beliau menjawab: “Dengan mengetahui bahwa Dia di atas langit ketujuh di atas Arasy. (As-Sunnah. Hlm. 5. Abdullah bin al-Imam Ahmad).

Rasulullah sallallahu’alaihi wa-salam pun mengakui dan menerima pernyataan tentang di mana Allah dalam sabdanya: Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pegunungan Uhud dan Juawainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Karenanya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: “Wahai Rasullullah! Adakah aku harus memerdekakannya?”. Jawab Rasulullah: “Bawalah wanita itu ke sini”. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Dimana Allah?”. Dijawabnya: “Di langit”. Rasulullah beranya lagi: “Siapa aku?” Dijawabnya: “Engkau Rasulullah”. Maka baginda bersabda: “Merdekakanlah wanita ini,karena dia adalah seorang mukminah”. (HR. Muslim dan Abu Daud).

Fitnah lainnya mengenai Ibnu Taimiyah adalah beliau dituduh memiliki paham Musyabihah dan Jahmiyah. Padahal ada sabda Rasullullah yang berbunyi: “ Janganlah kamu maki ad-dahr (masa), karena sesungguhnya Allah itu adalah Masa”. (HR. Bukhari Muslim).

Dan Ibnu Taimiyah sendiri menulis dalam Syarah al-Akidah al-Wasitiyah hlm. 17-19. Cetakan ketiga. Al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah al-Munawwarah. Saudi Arabia. “Beriman kepada Allah ialah beriman dengan apa yang disifatkannya sendiri (oleh Allah) tanpa tahrif (tidak merubah lafaz dan maknanya) mengikut sebagaimana di dalam kitab-Nya, mengikut sebagaimana disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa tahrif, ta’til (meniadakan sifat Ilahiyah, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada zat-Nya), tanpa takyif (diperbagaimana) dan tanpa tamsil (menyerupakan dengan makhluknya), sebaliknya beriman bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)”.

Beliau juga telah menyatakan dalam Mujmal Iktiqad Salaf. Hlm. 86, Dr. Abdullah bin Abdulmuhsin at-Turky. Cetakan pertama. 1413-1993. Muassasah ar-Risalah. Beirut. “Pemahaman yang selamat ialah yang pertengahan, bukan golongan Jahmiyah yang menta’til (sifat Allah) dan bukan juga golongan ahli tamsil seperti Musyabbihah”.

Fitnah lainnya adalah tuduhan bahwa Ibnu Taimiyah menuduh para ulama seluruhnya termasuk keempat Imam Mahzab penganut khurafat dan bid’ah. Padahal kenyataannya beliau adalah salah seorang yang telah mempertahankan, memperjuangkan dan menghidupkan kembali ajaran-ajaran para Imam mahzab tersebut. Justru para pengaku-aku pengikut paham Imam mahzablah yang sebenarnya menolak pemahaman Imam mahzab yang diikutinya. Semuanya dilakukan karena taklid, menerima dan mengamalkan pendapat ulama dan ustadznya yang menasabkan ajarannya kepada imam mahzab tersebut tanpa meneliti lagi pandangan mereka.

Contohnya, para pengikut mahzab Syafi’i, secara tidak langsung dan mungkin tanpa sadar telah menentang paham Imam Syafi’i mengenai khurafat tariqat sufi filsafat, tasawuf dan tariqat kebatinan: “Tasawuf dibina di atas kemalasan, jika sekiranya seseorang itu menganut tasawuf di awal siang (pagi), tidak akan sempat sampai Zuhur, dia sudah menjadi bodoh”. (Lihat Talbisu Iblis. Hlm. 159)

Imam Syafi’i juga berkata: “Siapa yang menganut agama ini (sufi) maka dia seorang yang zindik atau dengan kata lain dia adalah sufi yang zindik, maka pemahaman sufi sama seperti pemahaman yang menentang keimanan yang hak”. Dan juga berkata: “Saya lari meninggalkan kota Basrah karena di sana terdapat golongan zindik (sufi/tasawuf), mereka mengerjakan sesuatu yang baru yang mereka sebut dengan tahlilan”.

Hasan al-Basri rahimahullah berkata: “Tidaklah engkau ketahui sesungguhnya kebanyakan penghuni neraka ialah penganut sufi/tasawuf?”. (Lihat At-Tasawuf. Hlm 21. Dr. Mustafa Hilmi. Dar ad-Dakwah. Al-Iskandariah).

Fitnah terhadap Ibnu Taimiyah ialah bahwa ulama-ulama terdahulu dianggap sebagai penganut khurafat dan bid’ah. Padahal di dalam kitab-kitabnya seperti Majmu Fatawa yang berjumlah 37 jilid dipenuhi dengan nukilan fatwa-fatwa para ulama terdahulu seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali dan para ulama terkenal lainnya dari kalangan akidah, ahli tafsir dan para ulama hadist. Yang perlu kita garis bawahi adalah, sekalipun Ibnu Taimiyah mencegah dan banyak menyebut kemungkaran bid’ah dan kefasikan yang terjadi di zamannya, bukanlah berarti bahwa semua ulama di zaman itu telah dibid’ahkan atau dianggap fasik oleh ulama tersebut.

Ibnu Taimiyah difitnah bahwa beliau menentang orang-orang Islam yang menganut dan bertaklid kepada salah satu Imam Mahzab. Padahal para Imam Mahzab juga menentang pendapat tuduhan tersebut:

“Berkata Imam Syafie rahimahullah Ta’ala: Setiap apa yang telah aku katakan dan ada perkataanku itu yang bertentangan dengan (hadis) yang sahih, maka hadist Nabi Shallallahu’alaihi wa-sallam adalah lebih diutamakan dan janganlah kamu sekalian bertaqlid kepadaku”.

Imam Syafi’i juga berkata: “Siapa yang bertaklid pada sesuatu dalam pengharaman sesuatu atau penghalalannya sedangkan telah nyata hadist sahih yang bertentangan dengannya dan mencegah dari bertaklid karena diperintahkan beramal dengan sunnah, maka dia telah mengambil orang yang ditaklidkan itu sebagai Tuhan selain Allah subhanallahu wa-Ta’ala”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Hlm. 69. Muhammad Sultan al-Maksumi)

Berkata Imam Ahmad bin Hambal: “Dalam agamamu janganlah engkau bertaklid dengan siapapun dari mereka-mereka. Apa yang datang dari Nabi sallallahu’alaihi wasalam maka ambillah olehmu, kemudian ambil dari para tabi’in, adapun orang-orang yang sesudahnya, pendapatnya boleh diambil dan boleh ditinggalkan”. (Lihat Masail al-Imam Ahmad. Diriwayatkan oleh Abu Daud. Hlm. 277).

“Janganlah kamu bertaklid kepadaku, janganlah bertaklid kepada Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Thauri rahimahullah Ta’ala. Ambillah dari mana (atau bagaimana) mereka mengambil”. ((Lihat Masail al-Imam Ahmad. Diriwayatkan oleh Abu Daud).

Berkata Ibn Hazm: “Sesungguhnya para fukaha yang menjadi ikutan mereka membatalkan pentaqlidan kepada mereka dan sesungguhnya mereka mencegah para pengikutnya dari bertaklid kepada mereka. Dan yang paling kuat menentang (perbuatan bertaklid) ialah as-Syafi’i.” (Lihat Al-Ahkam fi Usul al-Ahkam. Hlm, 118. Tahkiq Ahmad Muhammad Syakir. Cetakan kedua. Dar al-Afaq al-Jadidah. Beirut.).

“Berkata Ali Hasan bin Abdul Hamid: Siapa yang tidak meninggalkan taqlid maka pada ilmunya tidak akan memberi banyak faedah”. (Lihat ‘Audah ila Sunnah. Hlm. 36).

Berkata Sanad bin Anan rahimahullah: “Ketahuilah sesungguhnya hanya dengan mengambil jalan mudah sehingga mendorong bertaklid adalah tidak digemari oleh seorang lelaki yang bijaksana. Sesungguhnya (bertaklid) adalah cara seorang yang bodoh lagi bebal dan si tolol yang keras kepala”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Hlm. 70. Muhammad Sltan al-Maksumi).

“Manusia telah sepakat bahwa para muqallid tidak terhitung sebagai kalangan ahli ilmu, bahwasanya ahli ilmu mengenali kebenaran melalui dalilnya”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Muhammad Sltan al-Maksumi).

Fitnah yang menimpah Ibnu Taimiyah lainnya yaitu bahwa Ibnu Taimiyah pernah mengatakan: “Duduknya Tuhan di atas ‘Arasy sama dengan duduknya Ibnu Taimiyah di atas kursinya dan turunnya Tuhan dari langit sama seperti turunnya Ibn Taimiyah dari mimbar dan Tuhan itu dilihat (di sebelah) atas, boleh ditunjuk dengan anak jari ke atas”.

Ternyata tuduhan ini, adalah berdasarkan buku “Rahlah Ibnu Bathutah”. Menurut para penyebar fitnah ini, Ibnu Bathutah mendengar dan melihat sendiri kejadian Ibnu Taimiyah berkata dan melakukan sebagaimana yang didakwakannya, yaitu: “Turunnya Tuhan sama sepeti turunnya beliau dari mimbar”.

Atas tuduhan di atas maka penjelasannya adalah sebagai berikut: Menurut catatan sejarah, Ibnu Bathutah sampai di Damsyik pada hari Kamis, 9 Ramadhan 727H. Ibnu Taimiyah dimasukkan ke penjara Damsyik pada bulan Sya’ban ditahun ynag sama.. Tercatat dalam sejarah bahwa Ibnu Taimiyah wafat pada malam 20 Zulqaidah 728H. Berdasarkan kejadian diatas, berarti Ibnu Bathutah, sebenarnya tidak pernah mendengar bahkan tidak pernah menghadiri majlis-majlis ilmu yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah. Persoalan yang timbul, bagaimana mungkin Ibnu Bathutah pernah menyampaikan ilmu di atas mimbar dan mendengar majlis ilmunya sedangkan setibanya Ibnu Bathutah di Damsyik, Ibnu Taimiyah stelah dimasukkan ke dalam penjara? (Lihat Syarah Hadist Nuzzul. Hlm. 2. zahir as-Syaawisy. Cetakan kelima. 1397H-1977M. Al-Maktab al-Islami. Beirut.).

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah

Suatu hari saya membaca blog wahabisme.blogspot.com yang menfitnah ibnu Taimiyah. Berikut ini adalah tulisannya (Al qur’an menurut pandangan ibnu Taimiyah) :

Dalam tulisan kali ini, kita akan mengungkap satu pandangan dari perintis dan pembesut mazhab takfiriyah ini mengenai Al-quran. Yakni pandangan Ibnu Taimiyah tentang tafsir Al-quran. Satu hal yang di yakini oleh para ulama Ahlu Sunnah dan para mufassir dan telah disepakati secara ijmak adalah bahwa Al-quran mengandung dua sisi makna yakni dhahir dan bathin, luar dan dalam.

Pernyataan yang aneh sekali. Entahlah saya sama sekali tidak menemukan sumber para ulama, apalagi sahabat dan tabi’in yang mengatakan bahwa Al Qur’an memiliki dua sisi makna baik yang dhahir maupun yang bathin. Yang saya pahami adalah bahwa orang yang paling memahami Al Qur’an adalah Rasulullah dan para shahabat dengan kata lain makna Al Qur’an baik itu yang sudah jelas maupun yang perlu penjelasan adalah kita melihat bagaimana Rasulullah dan para shahabat menyikapi mengenai ayat itu.

Contoh :

"Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan" (QS. An-Nisaa : 4)

Pemahaman saya mengenai ayat ini adalah diperintahkannya untuk memberikan mahar kepada wanita yang akan dinikahi dan hanya itu pemahaman saya. Saya tidak mengetahui adanya makna bathin apalagi makna luar dalam.

Wahabisme.blogspot.com juga berkata :

Contoh paling nyata akan kebahlulan Ibnu Taimiyah adalah ketika dia menyakini bahwa semua ayat-ayat yang ada dalam Al-quran adalah Muhkamat dan tidak ada ayat dari ayat-ayat Al-quran yang Mutasyabihat. Contoh tentang keyakinan dia yang keblinger itu bisa kita baca pada Kitab Tafsir Ibnu Taimiyah yang dikenal dengan Tafsir Kabir. Disana dijelaskan bahwa ayat-ayat Al-quran semuanya adalah Muhkamat dan ayat mutasyabih itu tidak ada Lihat Kitab Tafsir Kabir, Juz 1, Halaman 253

Apakah benar ibnu taimiyah mengatakan demikian ? apakah ibnu Taimiyah mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al Qur’an ?. Sudah jelas bahwa wahabisame.blogspot.com sama sekali tidak memahami perkataan ibnu Taimiyah. Mungkin saya tidak berkomentar banyak mengenai masalah ini dikarenakan saya tidak punya buku Tafsir Kabir yang menjadi rujukan wahabisme.blogspot.com sehingga saya tidak bias mengecek silang apa yang dituduhkan wahabisme.blogspot.com. mohon maaf atas keterbatasan sarana saya.

Wahabisme.blogspot.com juga berkata :

Contoh dari dagelan yang dipamerkan Ibnu Taimiyah dalam manhaj tafsirnya dengan berdalih takwil ayat berdasarkan kesepakatan ulama tafsir dan para sahabat adalah ketika dia menafsirkan ayat Al-quran dengan dhohir ayat saja dan tanpa mentakwilkan makna bathin ayat tersebut. Sementara dakwaan dia bahwa tafsir ibnu taimiyah berdasarkan takwil dari sahabat dan ulama-ulama tafsir hanyalah kebohongan yang paling nyata dalam dagelan ini.

Misalnya kalau kita baca baca Tafsir surat An-nur, Halaman 178 dan 179. Disana dia katakan bahwa: “Saya menafsirkan ini berdasarkan Naql dari para sahabat, dan semua hadist serta ratusan tafsir mulai dari yang kecil sampai yang besar semuanya telah saya baca…” Sementara di alam realita mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah sama sekali tidak memperhatikan apa yang telah dia katakan tersebut dan malah sangat bertentangan dengan kebanyak ulama-ulama Sunnah dan hadist yang diriwayatkan dari para sahabat. Misalnya kalau kita lihat pada tafsir surat Al-qalam ayat 42, dia menafsirkan ayat ini berdasarkan dhohir dan tidak mentakwilkannya, sementara kebanyakan ulama jumhur dari Ahlu Sunnah mentakwil tafsir ini. Allah swt berfirman dalam surat Al-qalam ayat 42: “Yauma Yuksafu an Saaqin…..” Artinya: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; Maka mereka tidak kuasa”.Saaqin” disini mempunyai makna sesuatu yang dahsyat. Makanya dalam ibarat arab mengatakan: “Kasyful Harbi an Saaqiha”, yang artinya peperangan yang dahsyat telah dimulai. Lihat tafsir Tabari, Jilid 5, juz 8, Halaman 201 dan 202.

Atau ketika dia menafsirkan surat Adz-dzariyaat ayat 47:”Wa As-samaa Banainaaha Biaidin”. Yang artinya adalah: ”Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa”. Disana Ibnu Taimiyah juga menafsirkannya dengan dhohir ayat sementara ulama jumhur dari Ahlu Sunnah mentakwilkan tafsir ayat ini menjadi “Banainaaha Biquwwatin” yakni, “Kami bangun dengan kekuatan” sementara Biaidin ditafsirkan oleh ulama Ahlu Sunnah dengan kinayah atas kekuatan dan kekuasanNYa. Lihat Tafsir Tabari, Juz 27, Halaman 7.

Memang benar sekali bahwa Ibnu Taimiyah memandang bahwa Allah memiliki muka, dua tangan betis, mata, sifat turun ke langit dunia, bersemayam (istiwa), dan juga Allah berada di langit. Saya tidak akan membantah hal tersebut. Akan tetapi wahabisme.blogspot.com kurang mencermati perkataan ibnu Taimiyah dan menuduh bahwa ini sebuah dagelan tanpa melihat pendapat-pendapat ulama yang lainnya mengenai masalah ini. Sekalian saya bahasa tuduhan-tuduhan lainnya yang diberikan kepada Ibnu Taimiyah.

Perlu saya tekankan bahwa salah satu sifat Allah adalah bahwa tidak ada satupun yang serupa dengan Dia. Dengan kata lain Alah bisa punya dua tangan tapi jangan dibayangkan bahwa tangan Allah seperti tangan makhluk. Kita aja beda makhluk tangannya beda. Tangan kera sama tangan manusia beda. Apalagi tangan Allah. Dalam aqidah Ahlussunnah kita diwajibkan mengimani allah memiliki dua tangan akan tetapi bagaimana tangan Allah maka itu sesuai dengan kebesaran dan kesempurnaan Allah dan tak serupa dengan makhluknya. Ini yang saya pahami dari perkataan Ibnu Taimiyah.

Imam al-Auza’I yang dianggap Imam ahli Syam di jamannya. Beliau berkata: “Kami dan para tabi’in semuanya menetapkan dengan kesepakatan kami bahwa: Sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy-Nya dan kami beriman dengan apa yang telah dinyatakan oleh Sunnah berkenaan sifat-sifat Allah Ta’ala” (Lihat Fathul Bari halaman 406. Ibn Hajar al-Asqalani. Dar Ihya at-Turath al-Arabi. Beirut).

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, beliau telah menegaskan bahwa al-Qur’an bukan makhluk dan diturunkan oleh Allah yang berada di langit dan beliau seterusnya menjelaskan: “Allah mempunyai sifat, mempunyai tangan, bersemayam di atas Arasy-Nya dan al-Qur’an diturunkan dari langit”. (Lihat Iktiqad Aimatul Hadist hlm 50-51. Ismaili).

Imam as-Syafi’i rahimahullah menjelaskan (sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Talib setelah beliau ditanya tentang sifat Allah): Dan bagi-Nya dua tangan sebagaimana firman-Nya: (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Bagi-Nya tangan sebagaimana firman-Nya: Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya: Setiap sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya. Baginya kaki sebagai sabda Nabi saw: Sehinggalah Dia meletakkan wajah dan Kaki-Nya. Dia mempunyai jari sebagaimana sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wa-sallam: Tiadalah hati itu kecuali antara jari-jari dan jari-jari Ar-Rahman (Allah). Kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan dari menyerupakan sebagaimana dinafikan sendiri oleh Allah sebagaimana difirmankan: (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat). (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafie wa-Ahmad. Hlm 46-47).

Imam Syafi’i juga menjelaskan: Dan Allah Ta’ala di atas ‘Arasy-Nya (Dan ‘Arasy-Nya) di langit. (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafie wa-Ahmad. Hlm 40).

Imam Syafi’i juga menjelaskan: “Kita menetapkan sifat-sifat (Allah) sebagaimana yang didatangkan oleh al-Qur’an dan yang warid tentang-Nya dari sunnah, kami menafikan tasybih (penyerupaan) tentang-Nya karena dinafikan oleh diri-Nya sendiri sebagaimana firman-Nya” (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya). (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafi’i wa-Ahmad. Hlm 42).

Imam Syafi’i juga telah menjelaskan tentang turun naiknya Allah: “Sesungguhnya Dia (Allah) turun setiap malam ke langit dunia (sebagaimana) menurut khabar dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa-sallam”. (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafi’i wa-Ahmad. Hlm 47).

Pernyataan Ibnu Taimiyah dan Imam Syafi’i yang sejalan ini ternyata berlandaskan hadist Rasulullah sallallahu’alaihi wa-salam: “Tuhan kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir, maka Ia berfirman: Barangsiapa yang berdoa padaku maka akan aku kabulkan, barangsiapa yang meminta maka akan aku beri dan barangsiapa yang meminta ampunan maka akan aku ampunkan”. (HR. Bukhari:1141, /muslim:758, Abu Daud: 4733, Turmizi: 4393, Ibnu Majah: 1366, Ahmad:1/346)