Rabu, 14 Mei 2008

Kitab Kasyfu Syubuhat Kitab Takfir? (Bagian 3)

Ketika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan argumentasinya dengan firman Allah Ta’ala :

Katakanlah:” Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab:” Allah”. Maka katakanlah:” Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya ).” (Yunus, 31)

Dan juga ayat-ayat semisal ini AbuSalafy mengomentari sebagi berikut :

Sekali lagi di sini Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb memberikan gambaran menarik tentang kaum Musyrikûn. Ia tidak menyebutkan berbagai keburukan kaum Musyrikûn. Di sini ia hanya menyebut ayat-ayat yang menunjukkan kepercayaan global kaum Musyrikûn bahwa Allah Pencipta dan Pemberi rizki. Sementara itu pernyataan mereka itu bisa saja mereka sampaikan dalam rangka membela diri di hadapan hujatan tajam Al Qur’an, bukan muncul dari i’tiqâd dan keimanan. Sebab jika benar keyakinan mereka itu, pastilah meniscayakan mereka menerima keesaan Allah dan karasulan Nabi Muhammad saw. serta konsistensi dalam menjalankan berbagai ibadah yang diajarkannya. Karenanya, Allah SWT memerintah Nabi-Nya agar mengingatkan mereka akan konsekuansi dari apa yang mereka nyatakan itu; Maka katakanlah: ”Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).” dan. Katakanlah: ”(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu.”?!

Komentar saya adalah berikut :

Mengenai syaikh yang seolah-olah hanya menyebutkan kebaikan oleh orang-orang musyrik waktu itu sudah jelas karena fokusnya adalah Tauhid Uluhiyyah. Kalau menyebutkan keburukan-keburukan orang-orang kafir yang selalu menghalangi dakwah Rasulullah, memerangi beliau dan orang-orang yang mengikuti beliau itu sudah jelas dan kalau dijelaskan keburukan kaum musyrikin waktu itu bisa jadi malah nanti yang dibuat adalah Sirah Nabawiyyah, bukan membahasa masalah Tauhid. Sekali lagi syaikh ingin ,menjelaskan duduk permasalahan masalah Tauhid yang menimpa umat islam dibandingkan dengan pemahaman orang musyrik waktu itu.

Pernyataan :

Sementara itu pernyataan mereka itu bisa saja mereka sampaikan dalam rangka membela diri di hadapan hujatan tajam Al Qur’an, bukan muncul dari i’tiqâd dan keimanan”

Pernyataan AbuSalafy ini saya rasa hanya pandangannya saja tanpa didasari bukti yang konkrit dari Al Qur’an maupun As-Sunnah. Berdasarkan bukti-bukti dalam Al Qur’an pandangan abuSalafy bahwa orang musyrik itu hanya membela diri dihadapan hujatan tajam Al Qur’an adalah salah.

Seperti kita ketahui bahwa Agama bangsa Arab merupakan peninggalan Nabi Ibrahim alaihissalam. Pertama kali munculnya penyembahan terhadap berhala adalah saat munculnya Amr bin Luhay, pemimpin bani Khuza’ah. Dia tumbuh dan dikenal sebagai orang yang berbuat bijak, mengeluarakan sedekah dan menghormati urusan agama. Kemudian dia pergi ke syam dan disanalah dia melihat penduduk syam menyembah berhala dan mengangap perbuatan itu adalah hal yang baik, sebab menurutnya syam adalah tempat para Rasul dan Kitab. Maka dia pulang sambil membawa Hubal dan meletakkanya di ka’bah.

Berhala-berhala orang-orang arab adalah Manat yang berada di Musyallah di tepi laut merah di dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Latta di Thaif dan Uzza di Wadi Nahlah. Setelah ketiga berhala inilah kemusyrikan merajalela dan berhala-berhala lebih kecil bertebaran di setiap temat Hijaz. Kemudian Amr bin Luhay menemukan berhala-berhala kaum Nuh (Wud, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) yang terpendam di Jiddah dan membawanya ke Timamah dan pada musim haji dia menyerahkan berhala itu kepada berbagai kabilah.

Dan akhirnya kemusyrikan merata disana. Mereka menyembah Allah dan juga menyembah kepada berhala-berhala itu dengan keyakinan akan mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu Allah berfirman :

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai persangkaan mereka. Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami. Maka sajian-sajian yang diperuntukkan untuk berhala itu tidak sampai kepada Allah dan sajian-sajian yang diperuntukkan bagi Allah maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu” (QS Al An’am : 136)

Ayat ini menyangkal bahwa kaum musyrikin waktu itu hanya membela diri dan bukan muncul dari I’tiqad dan keimanan. Karena sudah sangat jelas disini bahwa kaum musyrikin memperuntukkan satu bagian dari tanaman dan ternak mereka untuk Allah. Dengan kata lain mereka yakin bahwa Allah dalah Rabb (Tuhan) mereka akan tetapi mereka juga memberikan yang lainnya untuk berhala-berhala mereka.

Ketika Allah berfirman “Maka sajian-sajian yang diperuntukkan untuk berhala itu tidak sampai kepada Allah” memberikan gambaran pada kita bahwa apa yang dilakukan kaum musyrikin waktu itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena tujuan akhir dari penyembahan berhala mereka adalah untuk Allah. Akan tetapi Allah mengingkari hal ini dengan firmannya.

Dan juga ayat :

“Dan mereka mengatakan, inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang, tidak boleh memakannya kecuali orang-orang yang kami kehendaki menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamakan menungganginya, dan binatang ternak yang mereka tidak mnyebut nama Allah ketika menyembelihnya semata-mata membuat kedustaan kepada Allah” (QS Al An’am : 138)

Dari segi ilmiah Apakah Allah akan menyatakan bahwa kaum musyrikin membuat kedustaan terhadapnya sedangkan kaum musyrikin tidak memiliki I’tiqad kepada Allah sama sekali ? Sesuatu yang logis bahwa kaum musyrikin mengimani Allah akan tetapi mereka membuat-buat sesuatu sesuai pikirannya (anggapan mereka) dan menganggap itu suatu yang baik. Oleh karena itu Allah mengingkari mereka.

Dan juga firman Allah Ta’ala :

“Allah sama sekali tidak mensyariatkan adanya bahirah, sa’ibah, washilah, dan hami, tetapi orang-orang kafir membuat kedustaan terhadap Allah dan kebanyakan mereka tidak mengerti” (QS : Al An’am 139)

Orang-orang musyrik menganggap adanya bahirah, sa’ibah, washilah, dan hami adalah sesuatu yang baik menurut Allah (menurut anggapan mereka saja) akan tetapi Allah mengingkari mereka. Sekali lagi ini adalah dalil lain bahwa orang-orang musyrik itu paham tentang tauhid rububiyah, yaitu Allah sebagai Rabb (Tuhan) yang mencipta alam, member rizky dll.

Bahirah adalah anak sa’ibah yaitu onta yang memiliki sepuluh anak yang semuanya betina dan sama sekali tidak memiliki anak jantan. Onta ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya dan susuntya idak boleh diminum kecuali tamu jika kemudian melahirkan lagi anak betina maka telinnya dibelah dan dilepaskan bersama induknya dan diperlakukan yang sama dengan induknya. Al Washillah adalah betina yang mempunya lima anak kembar secara berturut-turut.

Ketika syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan :

Tauhid yang diseru Nabi ini adalah arti perkataan Anda: Lailaha Illallah, karena Ilâh (tuhan) menurut mereka adalah apa yang mereka tuju baik dari para malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, atau jin. Mereka tidak bermaksud bahwa Ilâh itu adalah pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta, karena mereka mengetahui bahwa ketiga-tiganya milik Allah saja sebagaimana telah saya sebutkan tadi. Akan tetapi Ilâh/tuhan yang dimaksudkan oleh mereka adalah sosok yang oleh kaum Musyrikin di masa kami disebut dengan kata Sayyid.

AbuSalafy memberikan komentar :

Dalam paragraf ini terdapat pengafiran yang terang-terangan terhadap kaum Muslimin yang hidup di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab istilah Sayyid yang secara harfiyah beratikan tuan telah digunakan kaum Muslimin di sepanjang sejarah Islam sebagai sebutan/gelar bagi seorang dari keturunan/Ahlulbait Nabi saw. dan tidak sedikit umum kaum Muslimin memakainya untuk seorang shaleh yang diyakini akan keberkahanya, ia memberikan doa untuk keberkahan, kesembuhan atau keselamatan dll. Dan menggunakan kata Sayyid untuk arti di atas tidak sediktipun mengandung kemusyrikan atau kekafiran, bahkan tidak makruh apalagi haram hukumnya!

Hadis yang menyebut adanya larangan menggunakan kata tersebut untuk selain Allah SWT. masih diperdebatkan kesahihannya. Bahkan terbukti bahwa Khalifah Umar bin al Khaththab berkata: “Abu Bakar Sayyid kami telah memerdekakan sayyid kami Bilal.”

Komentar saya sebagai berikut :

Dimana kalimat yang mengatakan bahwa Syaikh mengkafirkan kaum muslimin dimasanya ? Sepenglihatan mata saya yang dikatakn syaikh adalah bahwa sosok yang disembah kaum musyrikin pada masanya adalah apa yang disebut sayyid. Dari sini sebenarnya jelas bahwa oleh orang-orang musyrik yang disebut sayyid pasti bukan sembarangan. Mereka pastinya adalah kalangan yang dianggap ahli ilmu diantara mereka, wali Allah, atau orang-orang shalih. Inilah yang dimaksud syaikh bahwa orang-orang musyrik itu bertaqarrub kepada sayyid (orang-orang shalih –red)

Saya pribadi sangat menyesalkan sikap abuSalafy ketika mengkritik bahwa hadits mengenai kata sayyid untuk selain Allah masih diperdebatkan akan tetapi disisi lain dia justru mengutarakan hadits tentang penggunaan kata sayyid akan tetapi tidak memberikan keterangan sama sekali ini hadits siapa yang meriwayatkan, ada di kitab mana dll ? bagaimana orang bisa tahu ini hadits asli apa palsu ? ini shahih atau tidak ?. Seorang berilmu yang mengkritik suatu keshahihan hadits harusnya dia akan menyampaikan dalilnya secara lengkap bukan menghilangkan sanad seperti hadits yang disebutkan abusalafy diatas. Sesuatu yang tidak masuk akal untuk sebuah kritik karena bagaimana mungkin orang yang tidak menyertakan sanad suatu hadits dalam pendapatnya bisa dipercaya untuk memperdebatkan masalah keshahihan hadits.

Kemudian abuSalafy melanjutkan dalil dengan menyebutkan firman Allah :

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya): ”Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, dan menjadi sayyidan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang- orang saleh.” (QS. Âlu ‘Imrân [3]; 39)

Mujahid dan lainnya berkata, “Sayyidan maknanya karîm, mulia di sisi Allah –Azza wa Jalla-”

Ini merupakan dasar lain yang dikemukakan abuSalafy untuk memperkuat hujjahnya tentang penyebutan kata sayyid kepada selain Allah. Komentar saya tentang hal ini adalah apakah sesuatu yang disebut Allah maka secara otomatis dia layak diberi gelar Sayyid ?. Kalau menurut bahasa arab yang saya ketahui sayyidan itu jelas maknanya adalah orang yang mulia akan tetapi kata sayyid itu adalah untuk panggilan. Menggunakan dalil diatas sama saja memaksakan dua hal yang berbeda untuk disamakan.

AbuSalafy juga berkomentar :

Dan tidak ada larangan dalam penggunaan kata sayyid seperti juga kata rab untuk selain Allah SWT selama ia dipergunakan dalam arti yang tidak menyalai kemurnian penghambaan dan Tauhid.

Suatu kesalahan fatal terutama tentang penyebutan nama Rab kepada selain Allah. Sesungguhnya saya tidak pernah menemui diantara para sahabat dan tabi’in yang memanggil Rasulullah dengan sebutan Rab.

Kemudian abuSalafy mengemukakan pendapatnya :” Tidak Semua Kaum Musyrik Mengakui Allah Sebagai Khaliq” dengan berdasarkan firman Allah :

Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga- duga saja.”(QS.al Jâtsiyah [45] :24)

Sepertinya abuSalafy memiliki kerancuan pemahaman mengenai orang musyrik yang kafir dan tentang orang-orang yang benar-benar kafir (tidak mengakui Tuhan). Karena suatu hal yang aneh menggunakan dalil dari Al Qur’an diatas untuk orang-orang musyrik. Yang namanya orang-orang musyrik pasti memiliki kepercayaan kepada Tuhan/berhala (walaupun dengan konsep yang salah) sedangkan yang dinyatakan ayat diatas adalah orang-orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Sangat jelas mereka itu orang-orang kafir murni (Atheis).

Yang kedua abuSalafy mengingkari pernyataannya sendiri pada pembahasan sebelumnya bahwa “Sementara itu pernyataan mereka itu bisa saja mereka sampaikan dalam rangka membela diri di hadapan hujatan tajam Al Qur’an, bukan muncul dari i’tiqâd dan keimanan” pada bagian sebelum ini karena dengan pernyatannya diatas maka seolah-olah ada orang musyrik yang mengakui Allah sebagai Rab (Tuhan) dan itulah yang benar menurut kami bahwa orang-orang musyrik mengakui Allah sebagai Rab (Tuhan).

Tidak ada komentar: