Selasa, 11 Desember 2007

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah (bagian 3)

Ibnu Taimiyah tidak pernah menyampaikan ilmunya di atas mimbar sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Bathutah. Malah Beliau tidak pernah berkutbah di atas mimbar walau Ibnu Bathutah berkata: “Dia turun dari tangga-tangga mimbar”.

Tuduhan yang paling tidak teliti adalah bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan istiwa allah sebagaimana duduk bersilanya beliau, sedangkan tidak terdapat di dalam kitab-kitabnya yang memaknai istiwa sebagaimana yang dituduhkan para pemfitnah.

Kenyataan yang sebenarnya Ibnu Taimiyah sepakat dan sependapat serta seakidah dengan para ulama salaf as-shaleh yaitu: “Allah bersemayam di atas Arasy-Nya dan Arasy-Nya berada di atas langit”. Ini bermakna Allah bertempat di langit sebagaimana penjelasan para ulama Salaf as-Shaleh berikut ini:

  • Berkata al-Imam Abu Hanifah rahimahullah: “Siapa mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata al-Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir karena Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas Arasy al Istiwa”. (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Berkata al_imam Malik rahimahullah: “Allah beraa di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun dari pada-Nya”. (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 140. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Berkata al-Imam as-Syafi’i rahimahullah: “Sesungguhnya Allah di atas Arasy-Nya dan Arsy-Nya di atas langit.” (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 179. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Berkata al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah: “Benar! Allah di atas Arasy-Nya dan tidak sesiapapun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya”. (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 188. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Atsar Imam Ibnu Khuzaimah pula menjelaskan: “Barangsiapa tidak menetapkan Allah Ta’ala di atas Arasy-Nya dan Allah istiwa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhan-Nya”. (Lihat: Ma’rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh Hakim)
  • Atsar Syaikhul Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah menjelaskan: “Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada di tiap-tiap tempat. Bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni di atas Arasy sebagaimana Ia telah berfirman: Ar-Rahman di atas Arasy, Ia beristiwa. (Qs. Thaha: 5). Dan patutlah memutlakkan sifat istiwa tanpa takwil, sesungguhnya Allah istiwa dengan Zat-Nya di atas Arasy. Keadaan-Nya di atas Arasy disebut pada tiap-tiap kitab yang Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya): Bagaimana caranya (Allah istiwa di atas Arasy-Nya)?”. (Lihat Fatawa Hamwiyah Kubra. Hlm. 84).
  • Berkata al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah: “Di atas langit-langit itulah Arasy, maka tatkala Arasy berada di atas langit-langit Allah berfirman: Apakah kamu merasa aman terhadap Zat yang berada di atas langit? Sesungguhnya Ia istiwa (bersemayam) di atas Arasy yang berada di atas langit dan tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan ‘As-Sama (langit), maka arasy berada di atas langit. Bukanlah yang dimaksudkan di dalam firman: Apakah kamu merasa aman terhadap Zat yang berada di atas langit? Bukan di seluruh langit! Tetapi Arasy-Nya yang berada di atas langit.” (Lihat: Al-Ibanah an-Usul ad-Dainah. Hlm. 48)

Dari hujah-hujah di atas, amatlah jelas, bahwa larangan mentakwil terhadap sifat-sifat Allah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah disepakati pula oleh seluruh ulama dari kalangan Imam-imam mazhab fiqih dan akidah yang antara lain: Maliki, Hambali, Hanafi, as-Syafi’I, abu Hasan al-Asy’ari, Ibnu Khuzaima dan lain-lainnya tetapi ditentang oleh orang-orang yang tidak senang terhadapnya.

  • Berkata pula Imam Ibnu Khuzaimah (dari kalangan ulama as-Safi’iyah): “Kami beriman dengan berita dari Allah Jalla wa-Ala sesungguhnya Pencipta kami Ia beristiwa (bersemayam) di ataas Arasy-Nya. Kami tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan peerkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan Jahmiyah yang pernah berkata: Sesungguhnya Dia istiwla (menguasai) Arasy-Nya bukan istiwa!! (bersemayam). Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, ini menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintah mengucapkan: Hithtatun Ampunkannlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah): Hinthah (makanlah gandum)! Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi maka seperti itulah (perbuatan kaum) Jahmiyah”. (Lihat: Kitabut Tauhid fi ithbatis Sifat. Hlm. 101. Ibnu Khuzaimah).

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah (bagian 2)

Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah ketika ditanya tentang bagaimana agar kita mengetahui di mana Allah? Beliau menjawab: “Dengan mengetahui bahwa Dia di atas langit ketujuh di atas Arasy. (As-Sunnah. Hlm. 5. Abdullah bin al-Imam Ahmad).

Rasulullah sallallahu’alaihi wa-salam pun mengakui dan menerima pernyataan tentang di mana Allah dalam sabdanya: Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pegunungan Uhud dan Juawainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Karenanya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: “Wahai Rasullullah! Adakah aku harus memerdekakannya?”. Jawab Rasulullah: “Bawalah wanita itu ke sini”. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Dimana Allah?”. Dijawabnya: “Di langit”. Rasulullah beranya lagi: “Siapa aku?” Dijawabnya: “Engkau Rasulullah”. Maka baginda bersabda: “Merdekakanlah wanita ini,karena dia adalah seorang mukminah”. (HR. Muslim dan Abu Daud).

Fitnah lainnya mengenai Ibnu Taimiyah adalah beliau dituduh memiliki paham Musyabihah dan Jahmiyah. Padahal ada sabda Rasullullah yang berbunyi: “ Janganlah kamu maki ad-dahr (masa), karena sesungguhnya Allah itu adalah Masa”. (HR. Bukhari Muslim).

Dan Ibnu Taimiyah sendiri menulis dalam Syarah al-Akidah al-Wasitiyah hlm. 17-19. Cetakan ketiga. Al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah al-Munawwarah. Saudi Arabia. “Beriman kepada Allah ialah beriman dengan apa yang disifatkannya sendiri (oleh Allah) tanpa tahrif (tidak merubah lafaz dan maknanya) mengikut sebagaimana di dalam kitab-Nya, mengikut sebagaimana disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa tahrif, ta’til (meniadakan sifat Ilahiyah, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada zat-Nya), tanpa takyif (diperbagaimana) dan tanpa tamsil (menyerupakan dengan makhluknya), sebaliknya beriman bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)”.

Beliau juga telah menyatakan dalam Mujmal Iktiqad Salaf. Hlm. 86, Dr. Abdullah bin Abdulmuhsin at-Turky. Cetakan pertama. 1413-1993. Muassasah ar-Risalah. Beirut. “Pemahaman yang selamat ialah yang pertengahan, bukan golongan Jahmiyah yang menta’til (sifat Allah) dan bukan juga golongan ahli tamsil seperti Musyabbihah”.

Fitnah lainnya adalah tuduhan bahwa Ibnu Taimiyah menuduh para ulama seluruhnya termasuk keempat Imam Mahzab penganut khurafat dan bid’ah. Padahal kenyataannya beliau adalah salah seorang yang telah mempertahankan, memperjuangkan dan menghidupkan kembali ajaran-ajaran para Imam mahzab tersebut. Justru para pengaku-aku pengikut paham Imam mahzablah yang sebenarnya menolak pemahaman Imam mahzab yang diikutinya. Semuanya dilakukan karena taklid, menerima dan mengamalkan pendapat ulama dan ustadznya yang menasabkan ajarannya kepada imam mahzab tersebut tanpa meneliti lagi pandangan mereka.

Contohnya, para pengikut mahzab Syafi’i, secara tidak langsung dan mungkin tanpa sadar telah menentang paham Imam Syafi’i mengenai khurafat tariqat sufi filsafat, tasawuf dan tariqat kebatinan: “Tasawuf dibina di atas kemalasan, jika sekiranya seseorang itu menganut tasawuf di awal siang (pagi), tidak akan sempat sampai Zuhur, dia sudah menjadi bodoh”. (Lihat Talbisu Iblis. Hlm. 159)

Imam Syafi’i juga berkata: “Siapa yang menganut agama ini (sufi) maka dia seorang yang zindik atau dengan kata lain dia adalah sufi yang zindik, maka pemahaman sufi sama seperti pemahaman yang menentang keimanan yang hak”. Dan juga berkata: “Saya lari meninggalkan kota Basrah karena di sana terdapat golongan zindik (sufi/tasawuf), mereka mengerjakan sesuatu yang baru yang mereka sebut dengan tahlilan”.

Hasan al-Basri rahimahullah berkata: “Tidaklah engkau ketahui sesungguhnya kebanyakan penghuni neraka ialah penganut sufi/tasawuf?”. (Lihat At-Tasawuf. Hlm 21. Dr. Mustafa Hilmi. Dar ad-Dakwah. Al-Iskandariah).

Fitnah terhadap Ibnu Taimiyah ialah bahwa ulama-ulama terdahulu dianggap sebagai penganut khurafat dan bid’ah. Padahal di dalam kitab-kitabnya seperti Majmu Fatawa yang berjumlah 37 jilid dipenuhi dengan nukilan fatwa-fatwa para ulama terdahulu seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali dan para ulama terkenal lainnya dari kalangan akidah, ahli tafsir dan para ulama hadist. Yang perlu kita garis bawahi adalah, sekalipun Ibnu Taimiyah mencegah dan banyak menyebut kemungkaran bid’ah dan kefasikan yang terjadi di zamannya, bukanlah berarti bahwa semua ulama di zaman itu telah dibid’ahkan atau dianggap fasik oleh ulama tersebut.

Ibnu Taimiyah difitnah bahwa beliau menentang orang-orang Islam yang menganut dan bertaklid kepada salah satu Imam Mahzab. Padahal para Imam Mahzab juga menentang pendapat tuduhan tersebut:

“Berkata Imam Syafie rahimahullah Ta’ala: Setiap apa yang telah aku katakan dan ada perkataanku itu yang bertentangan dengan (hadis) yang sahih, maka hadist Nabi Shallallahu’alaihi wa-sallam adalah lebih diutamakan dan janganlah kamu sekalian bertaqlid kepadaku”.

Imam Syafi’i juga berkata: “Siapa yang bertaklid pada sesuatu dalam pengharaman sesuatu atau penghalalannya sedangkan telah nyata hadist sahih yang bertentangan dengannya dan mencegah dari bertaklid karena diperintahkan beramal dengan sunnah, maka dia telah mengambil orang yang ditaklidkan itu sebagai Tuhan selain Allah subhanallahu wa-Ta’ala”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Hlm. 69. Muhammad Sultan al-Maksumi)

Berkata Imam Ahmad bin Hambal: “Dalam agamamu janganlah engkau bertaklid dengan siapapun dari mereka-mereka. Apa yang datang dari Nabi sallallahu’alaihi wasalam maka ambillah olehmu, kemudian ambil dari para tabi’in, adapun orang-orang yang sesudahnya, pendapatnya boleh diambil dan boleh ditinggalkan”. (Lihat Masail al-Imam Ahmad. Diriwayatkan oleh Abu Daud. Hlm. 277).

“Janganlah kamu bertaklid kepadaku, janganlah bertaklid kepada Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Thauri rahimahullah Ta’ala. Ambillah dari mana (atau bagaimana) mereka mengambil”. ((Lihat Masail al-Imam Ahmad. Diriwayatkan oleh Abu Daud).

Berkata Ibn Hazm: “Sesungguhnya para fukaha yang menjadi ikutan mereka membatalkan pentaqlidan kepada mereka dan sesungguhnya mereka mencegah para pengikutnya dari bertaklid kepada mereka. Dan yang paling kuat menentang (perbuatan bertaklid) ialah as-Syafi’i.” (Lihat Al-Ahkam fi Usul al-Ahkam. Hlm, 118. Tahkiq Ahmad Muhammad Syakir. Cetakan kedua. Dar al-Afaq al-Jadidah. Beirut.).

“Berkata Ali Hasan bin Abdul Hamid: Siapa yang tidak meninggalkan taqlid maka pada ilmunya tidak akan memberi banyak faedah”. (Lihat ‘Audah ila Sunnah. Hlm. 36).

Berkata Sanad bin Anan rahimahullah: “Ketahuilah sesungguhnya hanya dengan mengambil jalan mudah sehingga mendorong bertaklid adalah tidak digemari oleh seorang lelaki yang bijaksana. Sesungguhnya (bertaklid) adalah cara seorang yang bodoh lagi bebal dan si tolol yang keras kepala”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Hlm. 70. Muhammad Sltan al-Maksumi).

“Manusia telah sepakat bahwa para muqallid tidak terhitung sebagai kalangan ahli ilmu, bahwasanya ahli ilmu mengenali kebenaran melalui dalilnya”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Muhammad Sltan al-Maksumi).

Fitnah yang menimpah Ibnu Taimiyah lainnya yaitu bahwa Ibnu Taimiyah pernah mengatakan: “Duduknya Tuhan di atas ‘Arasy sama dengan duduknya Ibnu Taimiyah di atas kursinya dan turunnya Tuhan dari langit sama seperti turunnya Ibn Taimiyah dari mimbar dan Tuhan itu dilihat (di sebelah) atas, boleh ditunjuk dengan anak jari ke atas”.

Ternyata tuduhan ini, adalah berdasarkan buku “Rahlah Ibnu Bathutah”. Menurut para penyebar fitnah ini, Ibnu Bathutah mendengar dan melihat sendiri kejadian Ibnu Taimiyah berkata dan melakukan sebagaimana yang didakwakannya, yaitu: “Turunnya Tuhan sama sepeti turunnya beliau dari mimbar”.

Atas tuduhan di atas maka penjelasannya adalah sebagai berikut: Menurut catatan sejarah, Ibnu Bathutah sampai di Damsyik pada hari Kamis, 9 Ramadhan 727H. Ibnu Taimiyah dimasukkan ke penjara Damsyik pada bulan Sya’ban ditahun ynag sama.. Tercatat dalam sejarah bahwa Ibnu Taimiyah wafat pada malam 20 Zulqaidah 728H. Berdasarkan kejadian diatas, berarti Ibnu Bathutah, sebenarnya tidak pernah mendengar bahkan tidak pernah menghadiri majlis-majlis ilmu yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah. Persoalan yang timbul, bagaimana mungkin Ibnu Bathutah pernah menyampaikan ilmu di atas mimbar dan mendengar majlis ilmunya sedangkan setibanya Ibnu Bathutah di Damsyik, Ibnu Taimiyah stelah dimasukkan ke dalam penjara? (Lihat Syarah Hadist Nuzzul. Hlm. 2. zahir as-Syaawisy. Cetakan kelima. 1397H-1977M. Al-Maktab al-Islami. Beirut.).

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah

Suatu hari saya membaca blog wahabisme.blogspot.com yang menfitnah ibnu Taimiyah. Berikut ini adalah tulisannya (Al qur’an menurut pandangan ibnu Taimiyah) :

Dalam tulisan kali ini, kita akan mengungkap satu pandangan dari perintis dan pembesut mazhab takfiriyah ini mengenai Al-quran. Yakni pandangan Ibnu Taimiyah tentang tafsir Al-quran. Satu hal yang di yakini oleh para ulama Ahlu Sunnah dan para mufassir dan telah disepakati secara ijmak adalah bahwa Al-quran mengandung dua sisi makna yakni dhahir dan bathin, luar dan dalam.

Pernyataan yang aneh sekali. Entahlah saya sama sekali tidak menemukan sumber para ulama, apalagi sahabat dan tabi’in yang mengatakan bahwa Al Qur’an memiliki dua sisi makna baik yang dhahir maupun yang bathin. Yang saya pahami adalah bahwa orang yang paling memahami Al Qur’an adalah Rasulullah dan para shahabat dengan kata lain makna Al Qur’an baik itu yang sudah jelas maupun yang perlu penjelasan adalah kita melihat bagaimana Rasulullah dan para shahabat menyikapi mengenai ayat itu.

Contoh :

"Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan" (QS. An-Nisaa : 4)

Pemahaman saya mengenai ayat ini adalah diperintahkannya untuk memberikan mahar kepada wanita yang akan dinikahi dan hanya itu pemahaman saya. Saya tidak mengetahui adanya makna bathin apalagi makna luar dalam.

Wahabisme.blogspot.com juga berkata :

Contoh paling nyata akan kebahlulan Ibnu Taimiyah adalah ketika dia menyakini bahwa semua ayat-ayat yang ada dalam Al-quran adalah Muhkamat dan tidak ada ayat dari ayat-ayat Al-quran yang Mutasyabihat. Contoh tentang keyakinan dia yang keblinger itu bisa kita baca pada Kitab Tafsir Ibnu Taimiyah yang dikenal dengan Tafsir Kabir. Disana dijelaskan bahwa ayat-ayat Al-quran semuanya adalah Muhkamat dan ayat mutasyabih itu tidak ada Lihat Kitab Tafsir Kabir, Juz 1, Halaman 253

Apakah benar ibnu taimiyah mengatakan demikian ? apakah ibnu Taimiyah mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al Qur’an ?. Sudah jelas bahwa wahabisame.blogspot.com sama sekali tidak memahami perkataan ibnu Taimiyah. Mungkin saya tidak berkomentar banyak mengenai masalah ini dikarenakan saya tidak punya buku Tafsir Kabir yang menjadi rujukan wahabisme.blogspot.com sehingga saya tidak bias mengecek silang apa yang dituduhkan wahabisme.blogspot.com. mohon maaf atas keterbatasan sarana saya.

Wahabisme.blogspot.com juga berkata :

Contoh dari dagelan yang dipamerkan Ibnu Taimiyah dalam manhaj tafsirnya dengan berdalih takwil ayat berdasarkan kesepakatan ulama tafsir dan para sahabat adalah ketika dia menafsirkan ayat Al-quran dengan dhohir ayat saja dan tanpa mentakwilkan makna bathin ayat tersebut. Sementara dakwaan dia bahwa tafsir ibnu taimiyah berdasarkan takwil dari sahabat dan ulama-ulama tafsir hanyalah kebohongan yang paling nyata dalam dagelan ini.

Misalnya kalau kita baca baca Tafsir surat An-nur, Halaman 178 dan 179. Disana dia katakan bahwa: “Saya menafsirkan ini berdasarkan Naql dari para sahabat, dan semua hadist serta ratusan tafsir mulai dari yang kecil sampai yang besar semuanya telah saya baca…” Sementara di alam realita mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah sama sekali tidak memperhatikan apa yang telah dia katakan tersebut dan malah sangat bertentangan dengan kebanyak ulama-ulama Sunnah dan hadist yang diriwayatkan dari para sahabat. Misalnya kalau kita lihat pada tafsir surat Al-qalam ayat 42, dia menafsirkan ayat ini berdasarkan dhohir dan tidak mentakwilkannya, sementara kebanyakan ulama jumhur dari Ahlu Sunnah mentakwil tafsir ini. Allah swt berfirman dalam surat Al-qalam ayat 42: “Yauma Yuksafu an Saaqin…..” Artinya: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; Maka mereka tidak kuasa”.Saaqin” disini mempunyai makna sesuatu yang dahsyat. Makanya dalam ibarat arab mengatakan: “Kasyful Harbi an Saaqiha”, yang artinya peperangan yang dahsyat telah dimulai. Lihat tafsir Tabari, Jilid 5, juz 8, Halaman 201 dan 202.

Atau ketika dia menafsirkan surat Adz-dzariyaat ayat 47:”Wa As-samaa Banainaaha Biaidin”. Yang artinya adalah: ”Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa”. Disana Ibnu Taimiyah juga menafsirkannya dengan dhohir ayat sementara ulama jumhur dari Ahlu Sunnah mentakwilkan tafsir ayat ini menjadi “Banainaaha Biquwwatin” yakni, “Kami bangun dengan kekuatan” sementara Biaidin ditafsirkan oleh ulama Ahlu Sunnah dengan kinayah atas kekuatan dan kekuasanNYa. Lihat Tafsir Tabari, Juz 27, Halaman 7.

Memang benar sekali bahwa Ibnu Taimiyah memandang bahwa Allah memiliki muka, dua tangan betis, mata, sifat turun ke langit dunia, bersemayam (istiwa), dan juga Allah berada di langit. Saya tidak akan membantah hal tersebut. Akan tetapi wahabisme.blogspot.com kurang mencermati perkataan ibnu Taimiyah dan menuduh bahwa ini sebuah dagelan tanpa melihat pendapat-pendapat ulama yang lainnya mengenai masalah ini. Sekalian saya bahasa tuduhan-tuduhan lainnya yang diberikan kepada Ibnu Taimiyah.

Perlu saya tekankan bahwa salah satu sifat Allah adalah bahwa tidak ada satupun yang serupa dengan Dia. Dengan kata lain Alah bisa punya dua tangan tapi jangan dibayangkan bahwa tangan Allah seperti tangan makhluk. Kita aja beda makhluk tangannya beda. Tangan kera sama tangan manusia beda. Apalagi tangan Allah. Dalam aqidah Ahlussunnah kita diwajibkan mengimani allah memiliki dua tangan akan tetapi bagaimana tangan Allah maka itu sesuai dengan kebesaran dan kesempurnaan Allah dan tak serupa dengan makhluknya. Ini yang saya pahami dari perkataan Ibnu Taimiyah.

Imam al-Auza’I yang dianggap Imam ahli Syam di jamannya. Beliau berkata: “Kami dan para tabi’in semuanya menetapkan dengan kesepakatan kami bahwa: Sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy-Nya dan kami beriman dengan apa yang telah dinyatakan oleh Sunnah berkenaan sifat-sifat Allah Ta’ala” (Lihat Fathul Bari halaman 406. Ibn Hajar al-Asqalani. Dar Ihya at-Turath al-Arabi. Beirut).

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, beliau telah menegaskan bahwa al-Qur’an bukan makhluk dan diturunkan oleh Allah yang berada di langit dan beliau seterusnya menjelaskan: “Allah mempunyai sifat, mempunyai tangan, bersemayam di atas Arasy-Nya dan al-Qur’an diturunkan dari langit”. (Lihat Iktiqad Aimatul Hadist hlm 50-51. Ismaili).

Imam as-Syafi’i rahimahullah menjelaskan (sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Talib setelah beliau ditanya tentang sifat Allah): Dan bagi-Nya dua tangan sebagaimana firman-Nya: (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Bagi-Nya tangan sebagaimana firman-Nya: Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya: Setiap sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya. Baginya kaki sebagai sabda Nabi saw: Sehinggalah Dia meletakkan wajah dan Kaki-Nya. Dia mempunyai jari sebagaimana sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wa-sallam: Tiadalah hati itu kecuali antara jari-jari dan jari-jari Ar-Rahman (Allah). Kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan dari menyerupakan sebagaimana dinafikan sendiri oleh Allah sebagaimana difirmankan: (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat). (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafie wa-Ahmad. Hlm 46-47).

Imam Syafi’i juga menjelaskan: Dan Allah Ta’ala di atas ‘Arasy-Nya (Dan ‘Arasy-Nya) di langit. (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafie wa-Ahmad. Hlm 40).

Imam Syafi’i juga menjelaskan: “Kita menetapkan sifat-sifat (Allah) sebagaimana yang didatangkan oleh al-Qur’an dan yang warid tentang-Nya dari sunnah, kami menafikan tasybih (penyerupaan) tentang-Nya karena dinafikan oleh diri-Nya sendiri sebagaimana firman-Nya” (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya). (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafi’i wa-Ahmad. Hlm 42).

Imam Syafi’i juga telah menjelaskan tentang turun naiknya Allah: “Sesungguhnya Dia (Allah) turun setiap malam ke langit dunia (sebagaimana) menurut khabar dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa-sallam”. (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafi’i wa-Ahmad. Hlm 47).

Pernyataan Ibnu Taimiyah dan Imam Syafi’i yang sejalan ini ternyata berlandaskan hadist Rasulullah sallallahu’alaihi wa-salam: “Tuhan kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir, maka Ia berfirman: Barangsiapa yang berdoa padaku maka akan aku kabulkan, barangsiapa yang meminta maka akan aku beri dan barangsiapa yang meminta ampunan maka akan aku ampunkan”. (HR. Bukhari:1141, /muslim:758, Abu Daud: 4733, Turmizi: 4393, Ibnu Majah: 1366, Ahmad:1/346)

Senin, 10 Desember 2007

Ziarah Kubur dilarang (bagian 2) ?

Umat islam di Indonesia dan juga banyak di Negara-negara lainnya memiliki kebiasaan berziarah ke kubur wali-wali untuk bertabarruk kepada Allah melalui perantara wali/ulama yang telah meninggal. Keyakinan ini karena adanya keyakinan bahwa orang-orang awam itu banyak dosanya sedangkan para wali/ulama yang telah meninggal itu lebih dekat kepada Allah karena amal dan ilmunya. Hal ini mungkin bisa kita ibaratkan Allah sebagai Raja kemudian wali/ulama adalah orang kepercayaan Raja. Sebagai rakyat kita sangat sulit tentu saja untuk menyampaikan keinginan kita kepada Raja. Salah satu cara untuk bias melakukannya tentu saja adalah dengan meminta bantuan kepada orang kepercayaan Raja untuk menyampaikan keinginannya. Inilah salah satu konsep kepercayaan adanya tabarruk kepada Allah melalui perantara nabi/wali/ulama.

Secara sekilas alasan seperti ini memang masih masuk akal. Akan tetapi jika kita perhatikan lagi Al Qur’an dan As Sunnah serta kesempurnaan sifat-sifat Allah alasan seperti diatas menjadi tidak masuk akal disebabkan oleh hal-hal berikut :

  • Dilihat dari pandangan kesempurnaan Allah, mengibaratkan Allah seperti layaknya seorang Raja adalah penghinaan yang sangat besar sekali kepada Allah. Raja adalah manusia yang hanya bisa melihat sebatas penglihatan matanya, yang hanya mendengar sebatas kemampuan telinganya, yang hanya mengetahui sebatas apa yang disampaikan kepadanya. Akan tetapi Allah adalah sempurna, penglihatanNya meliputi segala sesuatu, pendengaranNya meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu apapun yang tidak diketahuiNya.

Seorang rakyat harus menyampaikan keinginannya kepada orang kepercayaan Raja karena raja tidak bisa mengetahui setiap keinginan rakyatnya. Tidak demikian dengan Allah yang mengetahui segala sesuatu meskipun itu berada di hati manusia dan tidak pernah disampaikan kepada yang lainnya. Allah selalu mendengar keinginan setiap hambanya. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang aneh kalau kita bertabarruk kepada Allah dengan perantara nabi/wali/ulama yang telah mati. Orang yang mati tidak bisa mendengar, apalagi berbicara apalagi memberi berkah kepada kita. Beda kasusnya kalau kita datang ke Kyai yang masih hidup terus kita bilang “Ya Kyai tolong saya di doakan begini-begini”, suatu yang masih masuk akal karena kalau kyainya hidupkan masih bisa berdoa. Tapi jika sudah mati ?

  • Bertentangan dengan Al Qur’an. Banyak sekali ayat-ayat yang membahas masalah ini.

Ketika Allah berfirman tentang orang-orang Musyrik (Quraiys) dimana Rasulullah diperintahkan untuk mendakwahkan kalimat syahadat mereka berkata “Apakah Dia hendak menjadikan tuhan-tuhan yang banyak ini menjadi menjadi satu ilah saja ? sungguh ini adalah suatu hal yang mengherankan. Maka pergilah pemimpin-pemimpin mereka itu (seraya berkata), ‘Pergilah engkau dan tetaplah (menyembah) sesembahan-sesembahan engkau. Sesungguhnya ini adalah satu hal yang Dia kehendaki. Kami tiak mendengar hal ini dalam agama terakhir. Ini (yakni mengesakan Allah) tidak lain adalah (dusta) yang diada-adakan” (QS. Ash Shad:5).

Kamu musyrikin menyebut dengan Dia pada ayat diatas Yang dimaksud Adalah Allah Tuhan Semesta Alam karena pada kalimat setelahnya dikatakan bahawa sesungguhnya ini adalah satu hal yang Dia (Allah) kehendaki. Jika anda membaca tulisan saya sebelumnya tentang ‘Mereka berbohong atas nama kami’ maka anda pasti sudah memahami bahwa kaum musyrikin mengenal Allah sebagai Tuhan Semesta Alam dan Allah mengingkari penyembahan kepada Latta dan Uzza ( beberapa sesembahan mereka) merupakan bentuk pendekatan diri/tabarruk kepada Allah. Allah sama sekali tidak menerima alasan tabarruk mereka dan Rasulullah memerangi mereka Karena ini.

Lho, mas yang disembah kaum musyrikin kan patung lha sedangkan saya kan bertabarruk kepada Allah melalui perantara Nabi/Wali/ulama ya beda dong mas. Saya tidak menyembah nabi/wali/ulama kok. Saya cuma berharap dengan bertabarruk akan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Mungkin ini adalah alasan yang dikemukakan oleh pendukung tabarruk dikuburan. Suatu alasan yang mungkin logis.

Disini perlu saya tekankan lagi bahwa kaum musyrikin Quraisy waktu itu sama sekali tidak meyakini bahwa patung-patung yang mereka sembah mampu memberi manfaat/madharat kepada mereka baik itu memberikan rizki. Mereka melakukan itu semata-mata hanya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Mereka menyangka bahwa dengan bertaqarrub kepada patung-patung itu maka akan lebih mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana firman Allah “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ?’ Pasti mereka akan menjawab ‘Allah’, maka katakanlah kepada mereka ‘mengapa engkau tidak mau bertakwa ?’” (QS. Yunus :31)

Dan juga firman Allah : “dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’” (QS Az Zumar:3)

Dalam ayat ini tidak hanya patung yang menjadi konteksnya akan tetapi global berupa penyembahan-penyembahan terhadap patung-patung (meskipun sebenarnya patung-patung tersebut juga merupakan representasi orang-orang shalih), nabi, wali dan juga yang lainnya dimana tujuan kita adalah agar kita lebih didekatkan kepada Allah. Cara seperti ini sudah Allah ingkari sendiri dalam firmanNya.

Lalu kenapa kita bertabarruk di kuburan wali untuk mendekatkan diri kepada Allah padahal Allah telah mengingkari hal yang demikian itu dalam Al Qur’an ?

  • Bertentangan dengan perintah Rasulullah

Rasulullah bersabda : "Laknat Allah bagi orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid". (HR.Bukhori dan Muslim).

Yang ingin saya tekankah disini bahwa kita sepakat bahwa menjadikan kuburan nabi-nabi sebagai masjid adalah terlaknat. Karena kalau kita tidak sepakat untuk masalah ini percuma saja anda membaca lanjutan tulisan ini karena sejak awal anda sudah mengingkari hadits Rasulullah.

Pada kasus orang Nashrani sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Aisyah Radiyallahuanha dia menuturkan bahwa Ummu salamah[1] bercerita kepada rasulullah sallallahu Alaihi Wasallam tentang gereja yang dilihatnya di neger Habasyah beserta gambar-gambar yang ada di Gereja itu. Nabi lantas bersabda “

Jika ada orang yang shalih – atau hamba yang shalih – diantara mereka meninggal, mereka bangun diatas tempat ibadah dan menggambar wujud orang shalih tersebut di dalamnya. Mereka itu adalah sejelek-jelek orang disisi Allah“ (HR. Bukhari 427, Muslim 528)

Dengan kata lain kuburan-kuburan orang shalih itu berada di dalam gereja dan mereka berdo’a kepada orang shalih tersebut. Hal ini merupakan ibadah sehingga Allah melaknat mereka karena ini. Dalam konteks ini membangun kuburan di dalam masjid juga termasuk dalam kategori ini. Dan hal ini juga perbuatan yang dilarang.

Yang menjadi masalah bagaimana kalau kita berdo’a dalam rangka taqarrub dikuburan bukan dimasjid yang ada kuburannya atau kuburan yang dijadikan masjid ?

Dalam hal ini larangan ini juga berlaku untuk taqarrub pada kuburan wali/nabi karena selain melaknat orang yahudi dan nashrani mengenai hal itu Rasulullah juga dimakamkan di dalam rumah beliau sendiri bukan diluar. Mengenai hal ini Aisyah berkata “hanya saja dikawatirkan kalau kubur beliau dijadikan tempat ibadah” (Hadits Bukhari dan Muslim saya tidak tahu tepatnya nomor berapa silakan cari sendiri ). Maknanya disini tidak harus membangun masjid diatas kuburan akan tetapi makna yang lebih luas yaitu ibadah. Dengan kata lain dilarang melakukan tindakan ibadah dikuburan nabi/wali tidak hanya sholat saja akan tetapi tindakan ibadah kecuali apa yang telah di syariatkan dalam berziarah ke kuburan.

Untuk saat ini hanya ini yang bias saya sampaikan. Jika ada kritik dan koreksi kesalahan silakan disampaikan kepada saya.



[1] Beliau adalah Hindun Binti Abi Umayyah bib Al Mughirah Al Qurasyiah Al Makhzumah. Beliau dinikahi Rasulullah setelah ditingal wafat oleh abu salamah pada tahun 4H. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau menikahi Ummu Salamah pada 3H. Ummu Salamah wafat pada tahun 62H.

Selasa, 20 November 2007

Ziarah Kubur dilarang (bagian 1) ?

SalafyIndonesia menuliskan : Kelompok Wahaby (Jama’ah Takfiri) yang menyandarkan pendapatnya pada fatwa Ibnu Taimiyah menyatakan akan pengharaman ziarah kubur. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid: 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadis yang lemah (Dzaif), bahkan dibikin-bikin (Ja’li) ”. Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadis bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini diikuti secara fanatik dan membeo oleh semua ulama Wahaby, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama-ulama Wahaby lainnya. Selain itu, mereka berdalih dengan beberapa ayat al-Quran dan hadis yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kaum muslimin.

Di dalam islam ziarah kubur itu merupakan syari’at bertujuan agar orang yang melakukannya bisa mengambil pelajaran dari kematian yang telah mendatangi penghuni kubur dan dalam rangka mengingat negeri akhirat meskipun sebelumnya Rasululah Sallallahu Alaihi Wasallam melarangnya sebagaimana hadits berikut :

Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” (HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta'ala fi Ziyarati Qabri Ummihi)

alam riwayat An-Nasa`i disebutkan: “Siapa yang ingin ziarah kubur maka silahkan ia berziarah, namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[1][2]

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada ibrah/ pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad 3/38, 63, 66, Al-Hakim 1/374,375 dan ia mengatakan: “Shahih di atas syarat Muslim.” Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz hal. 228 mengatakan, kedudukan hadits ini sebagaimana dikatakan Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu disebutkan faedah lain dari ziarah kubur. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.”[3]


Dalam riwayat Ahmad dari Buraidah radhiallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:“Agar ziarah kubur itu mengingatkan kalian kepada kebaikan.”[4]


Dalam riwayat Al-Hakim dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu disebutkan: “Karena ziarah kubur itu melembutkan hati dan mengalirkan air mata, serta mengingatkan pada akhirat namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[5]


Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Ziarah kubur ini awalnya dilarang karena masih dekatnya masa mereka (para shahabat) dengan masa jahiliyah. Sehingga bisa jadi ketika melakukan ziarah kubur, mereka mengucapkan perkataan-perkataan jahiliyah yang batil. Maka ketika kaidah-kaidah Islam telah tegak, kokoh dan mantap, hukum-hukum Islam telah teratur dan terbentang, serta telah masyhur tanda-tandanya, dibolehkanlah bagi mereka untuk ziarah kubur. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membatasinya dengan ucapan beliau: namun jangan kalian mengucapkan hujran” (Al-Majmu’, 5/285)


Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Semua hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang dimaukan secara syar’i.” (Subulus Salam, 2/181)

Bagaimana ziarah bagi wanita ?

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang bolehnya ziarah kubur bagi laki-laki[6]. Namun berbeda halnya bila berkenaan dengan wanita. Mereka terbagi dalam tiga pendapat dalam menetapkan hukumnya:

  1. Makruh tidak haram. Demikian satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dengan dalil hadits Ummu ‘Athiyyah radhiallahu 'anha:

Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami) untuk mengikuti jenazah, namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.”[7]

  1. Mubah tidak makruh, berdasarkan dalil dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha juga yang dikeluarkan Al-Imam Muslim tentang doa ziarah kubur yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah ketika ia berkata: “Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?”
    Beliau mengajarkan: “Katakanlah: “Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian. (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)
  2. Haram, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.” (HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa`, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa` Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa`ul Ghalil no. 762)

Ada hadits lain yang datang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan.” (HR. An-Nasa`i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur) Namun sanad hadits ini dha’if sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah ketika membawakan hadits no. 225.

Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu 'anhuma berkata: “Kami mengubur mayat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah selesai, Rasulullah kembali pulang dan kami pun pulang bersama beliau. Ketika beliau bersisian dengan pintu rumahnya, beliau berdiri. Tiba-tiba kami melihat ada seorang wanita yang datang dan ternyata dia adalah Fathimah putri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bertanya:

Apa yang membuatmu keluar dari rumahmu, wahai Fathimah?”

Ya Rasulullah, aku mendatangi keluarga orang yang meninggal di rumah itu untuk mendoakan rahmat bagi mereka dan menghibur mereka (berta’ziyah),” jawab Fathimah.“Mungkin engkau sampai ke kuburan bersama mereka,” kata Rasulullah. Aku berlindung kepada Allah dari melakukan hal itu. Sungguh aku telah mendengar apa yang engkau sabdakan dalam masalah itu,” jawab Fathimah. Seandainya engkau sampai mendatangi kuburan bersama mereka, niscaya engkau tidak akan melihat surga sampai surga itu bisa dilihat oleh kakek ayahmu,” sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. An-Nasa`i no. 1880, kitab Al-Jana`iz, bab An-Na’yu, namun hadits ini dhaif sebagaimana dalam Dha’if Sunan An-Nasa`i).

Sampai disini bisa disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat ulama mengenai masalah ini. Memang benar Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim mengambi pendapat yang ketiga. Tapi manakah pendapat yang paling benar ?

Dengan memperhatikan isi hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.”. Disitu ditekankan adalah wanita yang banyak berziarah bukan semua wanita yang berziarah. Sehingga wanita yang berziarah hanya sekali-kali tidaklah masuk dalam ancaman hadits di atas.

Kalau ada yang berargumen bahwa ada hadits lain yang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan, Maka penjelasannya sebagai berikut: Hadits ini elah diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhum. Semuanya membawakan dengan bentuk mubalaghah: , kecuali satu riwayat dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dari jalan Abu Shalih maula Ummu Hani’ bintu Abi Thalib radhiallahu 'anha dibawakan dengan lafadz:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائرَاتِ الْقُبُوْرِ

Kita perhatikan lafadznya tidak berbentuk mubalaghah. Namun perlu diketahui, rawi yang berkunyah Abu Shalih ini bernama Badzan atau Badzam. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu: “Ia perawi yang dha’if (lemah).” (Taqribut Tahdzib, hal. 59, no. 634)


Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Ia dha’if menurut jumhur nuqqad. Tidak ada seorang pun yang mentsiqahkannya kecuali Al-’Ijli sebagaimana dikatakan Al-Hafizh dalam At-Tahdzib, bahkan Isma’il bin Abi Khalid dan Al-Azdi mendustakannya. Sebagian yang lain menjelekkannya dengan suka berbuat tadlis. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, hadits no. 225, hal. 393-394 dan Al-Irwa`, 3/212)


Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa yang shahih dari hadits ini hanyalah yang menyebutkan lafadz mubalaghah karena bersepakatnya hadits Abu Hurairah dan hadits Hasan radhiallahu 'anhuma. Bahkan disepakati pula oleh hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dalam riwayat dari kebanyakan perawi, walaupun padanya ada kelemahan sehingga tidak pantas dijadikan sebagai syahid (pendukung), namun tidak menjadi masalah, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu. Dengan demikian yang dilaknat dari hadits tersebut adalah wanita-wanita yang banyak melakukan ziarah kubur. Adapun yang tidak sering maka tidaklah masuk dalam laknat tersebut.

Dari hal ini maka bisa diambil kesimpulan bahwa pendapat ziarah kubur bagi wanita adalah haram merupakan pendapat yang tidak kuat. Yang benar adalah haram jika wanita banyak-banyak berziarah kubur.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Laknat yang disebutkan dalam hadits hanyalah ditujukan kepada para wanita yang banyak ziarah kubur karena dalam hadits disebutkan dengan bentuk mubalaghah. Sebab pelarangannya mungkin karena bila wanita sering ziarah kubur akan mengantarkannya untuk menyia-nyiakan hak suami dan keluar dengan tabarruj. Di samping juga akan muncul teriakan-teriakan/suara keras dari si wanita di sisi kubur dan semisalnya. Dan dinyatakan bahwa bila aman dari terjadinya semua itu maka tidak ada larangan memberi izin kepada mereka untuk datang ziarah ke kubur, karena mengingat kematian dibutuhkan bagi laki-laki dan juga bagi wanita.” (Fathul Bari, 3/190)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata mengomentari ucapan Al-Imam Al-Qurthubi di atas: “Ucapan ini sepantasnya dijadikan sebagai sandaran/pegangan dalam mengumpulkan di antara hadits-hadits dalam pembahasan ini yang secara dzahir terlihat saling bertentangan.” (Nailul Authar, 4/147)

Tapi apakah hukumnya mubah atau makruh ?

Mengenai hal ini karena tidak ada dalil khusus selain pelarangan banyak-banyak berziarah maka hukum wanita berziarah sama dengan hukum laki-laki yaitu mustahab karena Rasulullah bersbda :

Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan

Mengenai pendapat Syaikh Bin Baz mengenai keharaman ziarah kubur (jika memang benar) bagi wanita maka itu adalah ijtihad beliau. Saya sendiri sebagai seorang salafy tidak diwajibkan sama sekali bertaklid kepada beliau. Saya meringkas pendapat-pendapat para ulama kemudian mengambil kesimpulan yang saya anggap lebih kuat hukumnya. Dan saya berpendapat bahwa hukum asal wanita berziarah adalah boleh.

Mengenai pernyataan Ibnu Taimiyah yang dimaksud “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadist bohong” adalah hadits-hadits yang menyatakan bolehnya pergi ke kuburan nabi untuk bertabarruk kepada beliau atau datang jauh-jauh hanya dengan niat mengunjungi kuburan Rasulullah dan saya juga berpendapat seperti itu. Hal ini tidak akan saya jelaskan disini akan tetapi akan saya jelaskan pada halaman tersendiri

[1] Hujran atau hujr adalah ucapan-ucapan yang batil (Al-Majmu, 5/285) atau kata-kata yang keji/ kotor, termasuk juga banyak berbicara yang tidak sepantasnya. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, hal. 986)

[2] HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 2033, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i

[3] HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2256, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta'ala fi Ziyarati Qabri Ummihi

[4] HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 5/355

[5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/376

[6] Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’ 1/190, karya Ibnul Qaththan

[7] HR. Al-Bukhari no. 1278 kitab Al-Jana`iz, bab Ittiba’in Nisa` Al-Jana`iz dan Muslim no. 2163, 2164, kitab Al-Jana`iz, bab Nahyin Nisa` ‘anit Tiba’il Jana`iz


Minggu, 18 November 2007

Mereka Berbohong Atas Nama Kami ( bagian 2)

Salafyindoensia menyatakan Salah satu kerancuan yang sangat mendasar dalam memahami konsep tauhid dan syirik versi Wahaby adalah kesalahpahaman mereka dalam memaknai konsep tauhid dalam peribadatan (tauhid fil ibadah). Dalam kitab-kitab Mu’jam (katalog bahasa Arab) disebutkan bahwa kata “ibadah” dari sisi bahasa memiliki arti “merendah diri” (khudhu’) ataupun “menghinakan diri” (tadzallul). Hal inilah yang disebutkan oleh Raghib al-Isbahani dan Ibnu Mandhur dalam kitab karya-karya mereka. Jadi, secara bahasa dan arti umum ibadah berartikan menampakkan perendahan diri dan ketaatan. Namun jika dilihat dari sisi istilah yang dipakai dalam akidah Islam dan makna khusus maka ibadah tidak dapat disamaartikan hanya dengan perendahan diri dan ketaatan. Hal itu dikarenakan banyak hal yang dalam kehidupan sehari-hari kita dan termasuk perintah agama yang terdapat teks agama Islam (al-Quran dan Hadis) pun akan masuk kategori ibadah kepada selain Allah; sebagai contoh:

1. Ketundukan dan kepatuhan seorang anak terhadap orang tuanya maka akan tergolong ibadah kepada keduanya:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil” (QS al-Isra’: 24).

2. Sujud para Malaikat kepada nabi Adam maka akan masuk kategori peribadatan Malaikat terhadap Adam:

“Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah[36] kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.(QS al-Baqarah: 34)

3. Sujud nabi Ya’qub beserta anggota keluarganya di hadapan nabi Yusuf maka akan tergolong ibadah terhadap Yusuf:

“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf”. (QS Yusuf: 100)

4. Merendahkan diri seorang mukmin terhadap saudaranya sesama mukmin juga akan tergolong beribadah kepadanya:

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap merendah (adzillah) terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”.(QS al-Maidah: 54)

Terus terang saja kami tidak mengetahui apakah salafyindoensia benar-benar pernah membaca karya syaikh muhammad bin abdul wahhab. salafyindonesia diatas sangat jauh dari apa yang dimaksud tauhid uluhiyyah. memahami konsep tauhid uluhiyah yang kami maksud atau tidak, karena contoh-contoh diatas sangat aneh bagi kami bagi mereka yang memahami konsep tauhid uluhiyah yang kami maksud. Pernyataan

Kami sebelumnya mohon maaf jika penjelasannya nantinya terlalu panjang, karena sulit bagi kami menjelaskan tauhid uluhiyah dalam waktu singkat. Jadii kami mohon saudara pembaca bersabar dan membaca tulisan ini hingga selesai agar bisa memahami konsep tauhid uluhiyah yang kami maksud.

Orang-orang kafir Quraisy mengakui ketuhanan ( Rububiyah) Allah

Banyak sekali dari kalangan umat islam yang menganggap kafirnya kaum Quraisy yang memerangi Rasulullah adalah karena mereka tidak mau menerima Allah sebagai Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi, yang telah memberikan rizki kepada kita semua. Sama sekali bukan itu, kaum Quraisy tahu bahwa Tuhan adalah Allah bukan Latta ataupun Uzza dan patung-patung lainnya yang mereka sembah.

Allah berfirman,

Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?’ Niscaya mereka akan menjawab, ‘yang menciptakan semua itu adalah Yang Maha Perkasa lagi maha Mengetahui’” (QS. Az Zukhruf : 9)

Dan jika engkau bertanya kepada mereka ‘Siapakah yang menciptakan mereka ?’ niscaya mereka akan menjawab Allah.” (QS. Zukhruf : 87)

Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa ( menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ?’ Pasti mereka akan menjawab : ’Allah’. Maka katakanlah, ‘mengapa engkau tidak mau bertakwa (kepada-Nya)” (QS. Yunus : 31)

Katakanlah kepada mereka, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika engkau mengetahiu ?’, mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah ‘Apakah engkau tidak mau sadar ?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang mempunyai langit yang tujuh dan mempunyai ‘Arsy yang sangat besar?’ Mereka akan menjawab : ‘kepunyaan Allah’ Katakanlah ‘Mengapa engkau tidak mau bertakwa ?’ Katakanlah ‘Siapakah yang ditangan-Nya ada kekuasaan terhadap segala sesuatu, yang melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika engkau mengetahui ?” (QS : Al Mu’minum : 84-89)

Bukti yang lainnya adalah nama dari ayah Rasulullah. Abdullah dalam bahasa Indonesia artinya Hamba Allah. Bagaimana mungkin seseorang bernama Abdullah dimana saat itu dakwah islam belum ada kecuali kalau memang sejak awal sebelum islampun orang arab waktu itu sudah mengenal Allah.

Bukankah ayat-ayat dan bukti lainnya diatas menyatakan bahwa orang-orang kafir Quraisy pun mengenal Allah sebagai Tuhan ( dalam hal Rububiyah). Akan tetapi mengakui Rububiyah Allah saja tidak bisa menjadikan mereka seorang muslim. Lalu apa alasan kaum Quraisy waktu itu menolak dakwah Rasulullah ?

Perhatikan fiman Allah berikut :

hai Musa, buatlah untuk kami (Tuhan) berhala sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan (berhala).”. Musa menjawab “Sesungguhnya engkau ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. Sesungguhnya kepercayaan yang dianut mereka itu telah dihancurkan dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan” (QS : Al A’raf : 138-139)

Mengapa ia (Muhammad) hendak menjadikan tuhan-tuhan yang banyak ini mnejadi Tuhan Yang Satu saja ? sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang snagat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka seraya berkata “Pergilah kamu, dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar sesuatu hal yang dikehendaki (Allah), kami tidak pernah mendengar hal ini pada agama yang terakhir, ini (mengesakan Allah) tidak lainm hanyalah (dusta) yang diada-adakan” (QS : Shad 5-7)

Apakah kaum nabi Musa tidak mengenal Allah sampai-sampai mereka meminta dibuatkan sesembahan berupa berhala ?. tentu saja tidak, kaum nabi Musa mengenal Allah. Demikian juga kaum kafir yang menentang Rasulullah saat ini. Bagaimanapun juga orang arab adalah keturunan nabi Ismail putra Nabi Ibrahim yang jelas-jelas seorang nabi. Sangat wajar kalau bangsa arab sudah mengenal Allah.

Orang-orang kafir Quraisy tidak menganggap bahwa patung—patung yang mereka sembah bisa memberikan manfaat dan madarat kepada mereka

Dari penjelasan kami sebelumnya , para pembaca mungkin akan bingung dan bertanya-tanya. Lho ? kalau memang kaum kafir Quraisy yang memerangi dakwah Rasulullah saat itu meyakini ketuhanan Allah, meyakini bahwa Allah yang menciptakan mereka, bahwa Allah yang mengatur segala urusan, bahwa hanya Allah yang bisa memberi manfaat dan madharat kepada mereka kenapa orang-orang kafir Quraisy masih menyembah patung-patung ? bukannya ini adalah sesuatu yang kontradiktif ?

Justru permasalahan dari konsep tauhid uluhiyah adalah disini. Perhatikan firman Allah berikut :

Mereka mengatakan sesembahan itu adalah pemberi-pemberi syafaat bagi kami disisi Allah” (QS Yunus : 18)

Orang-orang yang menjadikan para wali sebagai sesembahan selain Allah (mereka mengatakan), ‘Tiadalah kami menyembah kepada mereka melainkan kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’” (QS Az Zumar : 3)

Orang-orang musyrik Quraisy waktu itu menganggap bahwa penyembahan mereka kepada Latta dan Uzza dan juga patung-patung lainnya sebagai bentuk Taqarub kepada Allah. Mereka tidak meyakini bahwa patung-patung tersebut yang memberikan rizki kepada mereka, mereka tidak meyakini bahwa patung-patung tersebut bisa memberikan manfaat maupun mudharat kepada mereka.

Dan Allah berfirman :

maka apakah patut kalian (Hai orang-orang musrik) menganggap Lata, Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kalian (naka) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah pembagian yang tidak adil. Mereka adalah nama-nama yang diada-adakan oleh kalian dan Bapak-bapak kalian. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Pereka tidak lain hanyah mengikuti persangkaan dan apa yang diinginkan hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah dating petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (QS An Najm, 19-23)

Kenapa Latta an Uzza ?

l-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mencerca kaum musyrikin dengan peribadatan mereka kepada patung-patung, tandingan-tandingan bagi Allah dan berhala-berhala, di mana mereka memberikan rumah-rumah untuk menyaingi Ka’bah yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Al-Lata adalah sebutan untuk batu yang terukir di mana di atasnya dibangun rumah dan berada di kota Thaif. Ia memiliki kelambu dan juru kunci dan di sekitarnya terdapat halaman yang diagungkan oleh penduduk Thaif, yaitu kabilah Tsaqif dan yang mengikuti mereka. Mereka berbangga-bangga dengannya di hadapan seluruh kabilah Arab kecuali Quraisy.

Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Mujahid, Rabi’ bin Anas mereka membaca (الاَّتَ) dengan ditasydidkan taa (تَّ) dan mereka menafsirkannya dengan: “Seseorang yang mengadoni gandum untuk para jamaah haji di masa jahiliyyah. Tatkala dia meninggal, mereka i’tikaf di kuburannya lalu menyembahnya.”

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata tentang firman Allah “Al-Latta dan Al-’Uzza.”: “Al-Latta adalah seseorang yang menjadikan gandum untuk para jamaah haji.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/35, lihat Tafsir Al-Qurthubi, 9/66, Ighatsatul Lahfan, 1/184)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Al-Latta dengan bacaan ditasydidkan huruf taa adalah bacaan Ibnu ‘Abbas berdasarkan bacaan ini berarti isim fa’il (bentuk subyek) dari kata ‘latta’ (yang berbentuk) patung, ini asalnya adalah seseorang yang mengadoni tepung untuk para jamaah haji yang dicampur dengan minyak samin lalu dimakan oleh para jamaah haji. Tatkala dia mati, orang-orang i’tikaf di kuburnya lalu mereka menjadikannya sebagai berhala.” (Qaulul Mufid, 1/253)

Secara singkatnya Latta adalah orang yang senantiasa mengaduk gandum untuk dibagikan kepada orang-orang yang berhaji pada waktu itu. Setelah beliau meninbggal orang-orang berkumpul di dekat kuburannya. Kemudian setelah itu mereka membuat patung untuk mengagungkan beliau atas kelebihan beliau. Latta merupakan orang shalih pada zamannya. Dengan kata lain kaum kafir waktu itu menyembah kepada Latta agar mereka lebih bisa didekatkan kepada Allah Azza Wajalla, karena mereka tahu bahwa Latta adalah orang yang shalih sehingga mereka berharap dengan bertaqarrub kepada Latta mereka akan di dekatkan kepada Allah, akan tetapi Allah menyangkal perbuatan mereka itu. Allah mengingkari bahwa mendekatkan diri kepada Latta dan Uzza bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah.

Firman Allah ,

Mereka mengatakan sesembahan itu adalah pemberi-pemberi syafaat bagi kami disisi Allah” (QS Yunus : 18)

Orang-orang yang menjadikan para wali sebagai sesembahan selain Allah (mereka mengatakan), ‘Tiadalah kami menyembah kepada mereka melainkan kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’” (QS Az Zumar : 3)

Kesyirikan seperti ini juga terjadi pada Masa Nabi Nuh Alaihissalam firman Allah :

“Nuh berkata: Ya Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yang amat besar. Dan mereka berkata jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Yauq dan Nasr. Dan sesungguhnya mereka menyesatkan kebanyakan manusia. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (Nuh: 21-24)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam riwayat Al-Bukhari menyatakan: “Mereka adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika orang-orang shalih itu mati, tampillah setan menyampaikan kepada orang-orang agar mendirikan di majelis-majelis mereka gambar orang-orang shalih tersebut dan namakanlah dengan nama-nama mereka! Orang-orang pun melakukan hal tersebut dan belum disembah, sampai ketika mereka meninggal dan ilmu semakin dilupakan, maka gambar-gambar itu pun disembah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Bukan hanya satu ulama salaf yang mengatakan: ‘Mereka adalah orang-orang shalih dari kaum Nuh. Tatkala mereka meninggal, orang-orang i’tikaf di kubur-kubur mereka lalu membuat patung-patung tersebut hingga masa yang sangat panjang, lalu menjadi sesembahan.” Kemudian beliau mengatakan: “Mereka telah menghimpun dua fitnah yaitu fitnah kubur dan fitnah menggambar.” (Ighatsatul Lahfan, 1/184)