Selasa, 11 Desember 2007

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah (bagian 3)

Ibnu Taimiyah tidak pernah menyampaikan ilmunya di atas mimbar sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Bathutah. Malah Beliau tidak pernah berkutbah di atas mimbar walau Ibnu Bathutah berkata: “Dia turun dari tangga-tangga mimbar”.

Tuduhan yang paling tidak teliti adalah bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan istiwa allah sebagaimana duduk bersilanya beliau, sedangkan tidak terdapat di dalam kitab-kitabnya yang memaknai istiwa sebagaimana yang dituduhkan para pemfitnah.

Kenyataan yang sebenarnya Ibnu Taimiyah sepakat dan sependapat serta seakidah dengan para ulama salaf as-shaleh yaitu: “Allah bersemayam di atas Arasy-Nya dan Arasy-Nya berada di atas langit”. Ini bermakna Allah bertempat di langit sebagaimana penjelasan para ulama Salaf as-Shaleh berikut ini:

  • Berkata al-Imam Abu Hanifah rahimahullah: “Siapa mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi? Berkata al-Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir karena Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas Arasy al Istiwa”. (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Berkata al_imam Malik rahimahullah: “Allah beraa di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun dari pada-Nya”. (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 140. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Berkata al-Imam as-Syafi’i rahimahullah: “Sesungguhnya Allah di atas Arasy-Nya dan Arsy-Nya di atas langit.” (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 179. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Berkata al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah: “Benar! Allah di atas Arasy-Nya dan tidak sesiapapun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya”. (Lihat Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 188. Imam az-Zahabi. Tahqiq al-Albani.).
  • Atsar Imam Ibnu Khuzaimah pula menjelaskan: “Barangsiapa tidak menetapkan Allah Ta’ala di atas Arasy-Nya dan Allah istiwa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhan-Nya”. (Lihat: Ma’rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh Hakim)
  • Atsar Syaikhul Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah menjelaskan: “Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada di tiap-tiap tempat. Bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni di atas Arasy sebagaimana Ia telah berfirman: Ar-Rahman di atas Arasy, Ia beristiwa. (Qs. Thaha: 5). Dan patutlah memutlakkan sifat istiwa tanpa takwil, sesungguhnya Allah istiwa dengan Zat-Nya di atas Arasy. Keadaan-Nya di atas Arasy disebut pada tiap-tiap kitab yang Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya): Bagaimana caranya (Allah istiwa di atas Arasy-Nya)?”. (Lihat Fatawa Hamwiyah Kubra. Hlm. 84).
  • Berkata al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah: “Di atas langit-langit itulah Arasy, maka tatkala Arasy berada di atas langit-langit Allah berfirman: Apakah kamu merasa aman terhadap Zat yang berada di atas langit? Sesungguhnya Ia istiwa (bersemayam) di atas Arasy yang berada di atas langit dan tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan ‘As-Sama (langit), maka arasy berada di atas langit. Bukanlah yang dimaksudkan di dalam firman: Apakah kamu merasa aman terhadap Zat yang berada di atas langit? Bukan di seluruh langit! Tetapi Arasy-Nya yang berada di atas langit.” (Lihat: Al-Ibanah an-Usul ad-Dainah. Hlm. 48)

Dari hujah-hujah di atas, amatlah jelas, bahwa larangan mentakwil terhadap sifat-sifat Allah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah disepakati pula oleh seluruh ulama dari kalangan Imam-imam mazhab fiqih dan akidah yang antara lain: Maliki, Hambali, Hanafi, as-Syafi’I, abu Hasan al-Asy’ari, Ibnu Khuzaima dan lain-lainnya tetapi ditentang oleh orang-orang yang tidak senang terhadapnya.

  • Berkata pula Imam Ibnu Khuzaimah (dari kalangan ulama as-Safi’iyah): “Kami beriman dengan berita dari Allah Jalla wa-Ala sesungguhnya Pencipta kami Ia beristiwa (bersemayam) di ataas Arasy-Nya. Kami tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan peerkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan Jahmiyah yang pernah berkata: Sesungguhnya Dia istiwla (menguasai) Arasy-Nya bukan istiwa!! (bersemayam). Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, ini menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintah mengucapkan: Hithtatun Ampunkannlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah): Hinthah (makanlah gandum)! Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi maka seperti itulah (perbuatan kaum) Jahmiyah”. (Lihat: Kitabut Tauhid fi ithbatis Sifat. Hlm. 101. Ibnu Khuzaimah).

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah (bagian 2)

Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah ketika ditanya tentang bagaimana agar kita mengetahui di mana Allah? Beliau menjawab: “Dengan mengetahui bahwa Dia di atas langit ketujuh di atas Arasy. (As-Sunnah. Hlm. 5. Abdullah bin al-Imam Ahmad).

Rasulullah sallallahu’alaihi wa-salam pun mengakui dan menerima pernyataan tentang di mana Allah dalam sabdanya: Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pegunungan Uhud dan Juawainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Karenanya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: “Wahai Rasullullah! Adakah aku harus memerdekakannya?”. Jawab Rasulullah: “Bawalah wanita itu ke sini”. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Dimana Allah?”. Dijawabnya: “Di langit”. Rasulullah beranya lagi: “Siapa aku?” Dijawabnya: “Engkau Rasulullah”. Maka baginda bersabda: “Merdekakanlah wanita ini,karena dia adalah seorang mukminah”. (HR. Muslim dan Abu Daud).

Fitnah lainnya mengenai Ibnu Taimiyah adalah beliau dituduh memiliki paham Musyabihah dan Jahmiyah. Padahal ada sabda Rasullullah yang berbunyi: “ Janganlah kamu maki ad-dahr (masa), karena sesungguhnya Allah itu adalah Masa”. (HR. Bukhari Muslim).

Dan Ibnu Taimiyah sendiri menulis dalam Syarah al-Akidah al-Wasitiyah hlm. 17-19. Cetakan ketiga. Al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah al-Munawwarah. Saudi Arabia. “Beriman kepada Allah ialah beriman dengan apa yang disifatkannya sendiri (oleh Allah) tanpa tahrif (tidak merubah lafaz dan maknanya) mengikut sebagaimana di dalam kitab-Nya, mengikut sebagaimana disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa tahrif, ta’til (meniadakan sifat Ilahiyah, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada zat-Nya), tanpa takyif (diperbagaimana) dan tanpa tamsil (menyerupakan dengan makhluknya), sebaliknya beriman bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)”.

Beliau juga telah menyatakan dalam Mujmal Iktiqad Salaf. Hlm. 86, Dr. Abdullah bin Abdulmuhsin at-Turky. Cetakan pertama. 1413-1993. Muassasah ar-Risalah. Beirut. “Pemahaman yang selamat ialah yang pertengahan, bukan golongan Jahmiyah yang menta’til (sifat Allah) dan bukan juga golongan ahli tamsil seperti Musyabbihah”.

Fitnah lainnya adalah tuduhan bahwa Ibnu Taimiyah menuduh para ulama seluruhnya termasuk keempat Imam Mahzab penganut khurafat dan bid’ah. Padahal kenyataannya beliau adalah salah seorang yang telah mempertahankan, memperjuangkan dan menghidupkan kembali ajaran-ajaran para Imam mahzab tersebut. Justru para pengaku-aku pengikut paham Imam mahzablah yang sebenarnya menolak pemahaman Imam mahzab yang diikutinya. Semuanya dilakukan karena taklid, menerima dan mengamalkan pendapat ulama dan ustadznya yang menasabkan ajarannya kepada imam mahzab tersebut tanpa meneliti lagi pandangan mereka.

Contohnya, para pengikut mahzab Syafi’i, secara tidak langsung dan mungkin tanpa sadar telah menentang paham Imam Syafi’i mengenai khurafat tariqat sufi filsafat, tasawuf dan tariqat kebatinan: “Tasawuf dibina di atas kemalasan, jika sekiranya seseorang itu menganut tasawuf di awal siang (pagi), tidak akan sempat sampai Zuhur, dia sudah menjadi bodoh”. (Lihat Talbisu Iblis. Hlm. 159)

Imam Syafi’i juga berkata: “Siapa yang menganut agama ini (sufi) maka dia seorang yang zindik atau dengan kata lain dia adalah sufi yang zindik, maka pemahaman sufi sama seperti pemahaman yang menentang keimanan yang hak”. Dan juga berkata: “Saya lari meninggalkan kota Basrah karena di sana terdapat golongan zindik (sufi/tasawuf), mereka mengerjakan sesuatu yang baru yang mereka sebut dengan tahlilan”.

Hasan al-Basri rahimahullah berkata: “Tidaklah engkau ketahui sesungguhnya kebanyakan penghuni neraka ialah penganut sufi/tasawuf?”. (Lihat At-Tasawuf. Hlm 21. Dr. Mustafa Hilmi. Dar ad-Dakwah. Al-Iskandariah).

Fitnah terhadap Ibnu Taimiyah ialah bahwa ulama-ulama terdahulu dianggap sebagai penganut khurafat dan bid’ah. Padahal di dalam kitab-kitabnya seperti Majmu Fatawa yang berjumlah 37 jilid dipenuhi dengan nukilan fatwa-fatwa para ulama terdahulu seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali dan para ulama terkenal lainnya dari kalangan akidah, ahli tafsir dan para ulama hadist. Yang perlu kita garis bawahi adalah, sekalipun Ibnu Taimiyah mencegah dan banyak menyebut kemungkaran bid’ah dan kefasikan yang terjadi di zamannya, bukanlah berarti bahwa semua ulama di zaman itu telah dibid’ahkan atau dianggap fasik oleh ulama tersebut.

Ibnu Taimiyah difitnah bahwa beliau menentang orang-orang Islam yang menganut dan bertaklid kepada salah satu Imam Mahzab. Padahal para Imam Mahzab juga menentang pendapat tuduhan tersebut:

“Berkata Imam Syafie rahimahullah Ta’ala: Setiap apa yang telah aku katakan dan ada perkataanku itu yang bertentangan dengan (hadis) yang sahih, maka hadist Nabi Shallallahu’alaihi wa-sallam adalah lebih diutamakan dan janganlah kamu sekalian bertaqlid kepadaku”.

Imam Syafi’i juga berkata: “Siapa yang bertaklid pada sesuatu dalam pengharaman sesuatu atau penghalalannya sedangkan telah nyata hadist sahih yang bertentangan dengannya dan mencegah dari bertaklid karena diperintahkan beramal dengan sunnah, maka dia telah mengambil orang yang ditaklidkan itu sebagai Tuhan selain Allah subhanallahu wa-Ta’ala”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Hlm. 69. Muhammad Sultan al-Maksumi)

Berkata Imam Ahmad bin Hambal: “Dalam agamamu janganlah engkau bertaklid dengan siapapun dari mereka-mereka. Apa yang datang dari Nabi sallallahu’alaihi wasalam maka ambillah olehmu, kemudian ambil dari para tabi’in, adapun orang-orang yang sesudahnya, pendapatnya boleh diambil dan boleh ditinggalkan”. (Lihat Masail al-Imam Ahmad. Diriwayatkan oleh Abu Daud. Hlm. 277).

“Janganlah kamu bertaklid kepadaku, janganlah bertaklid kepada Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Thauri rahimahullah Ta’ala. Ambillah dari mana (atau bagaimana) mereka mengambil”. ((Lihat Masail al-Imam Ahmad. Diriwayatkan oleh Abu Daud).

Berkata Ibn Hazm: “Sesungguhnya para fukaha yang menjadi ikutan mereka membatalkan pentaqlidan kepada mereka dan sesungguhnya mereka mencegah para pengikutnya dari bertaklid kepada mereka. Dan yang paling kuat menentang (perbuatan bertaklid) ialah as-Syafi’i.” (Lihat Al-Ahkam fi Usul al-Ahkam. Hlm, 118. Tahkiq Ahmad Muhammad Syakir. Cetakan kedua. Dar al-Afaq al-Jadidah. Beirut.).

“Berkata Ali Hasan bin Abdul Hamid: Siapa yang tidak meninggalkan taqlid maka pada ilmunya tidak akan memberi banyak faedah”. (Lihat ‘Audah ila Sunnah. Hlm. 36).

Berkata Sanad bin Anan rahimahullah: “Ketahuilah sesungguhnya hanya dengan mengambil jalan mudah sehingga mendorong bertaklid adalah tidak digemari oleh seorang lelaki yang bijaksana. Sesungguhnya (bertaklid) adalah cara seorang yang bodoh lagi bebal dan si tolol yang keras kepala”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Hlm. 70. Muhammad Sltan al-Maksumi).

“Manusia telah sepakat bahwa para muqallid tidak terhitung sebagai kalangan ahli ilmu, bahwasanya ahli ilmu mengenali kebenaran melalui dalilnya”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Muhammad Sltan al-Maksumi).

Fitnah yang menimpah Ibnu Taimiyah lainnya yaitu bahwa Ibnu Taimiyah pernah mengatakan: “Duduknya Tuhan di atas ‘Arasy sama dengan duduknya Ibnu Taimiyah di atas kursinya dan turunnya Tuhan dari langit sama seperti turunnya Ibn Taimiyah dari mimbar dan Tuhan itu dilihat (di sebelah) atas, boleh ditunjuk dengan anak jari ke atas”.

Ternyata tuduhan ini, adalah berdasarkan buku “Rahlah Ibnu Bathutah”. Menurut para penyebar fitnah ini, Ibnu Bathutah mendengar dan melihat sendiri kejadian Ibnu Taimiyah berkata dan melakukan sebagaimana yang didakwakannya, yaitu: “Turunnya Tuhan sama sepeti turunnya beliau dari mimbar”.

Atas tuduhan di atas maka penjelasannya adalah sebagai berikut: Menurut catatan sejarah, Ibnu Bathutah sampai di Damsyik pada hari Kamis, 9 Ramadhan 727H. Ibnu Taimiyah dimasukkan ke penjara Damsyik pada bulan Sya’ban ditahun ynag sama.. Tercatat dalam sejarah bahwa Ibnu Taimiyah wafat pada malam 20 Zulqaidah 728H. Berdasarkan kejadian diatas, berarti Ibnu Bathutah, sebenarnya tidak pernah mendengar bahkan tidak pernah menghadiri majlis-majlis ilmu yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah. Persoalan yang timbul, bagaimana mungkin Ibnu Bathutah pernah menyampaikan ilmu di atas mimbar dan mendengar majlis ilmunya sedangkan setibanya Ibnu Bathutah di Damsyik, Ibnu Taimiyah stelah dimasukkan ke dalam penjara? (Lihat Syarah Hadist Nuzzul. Hlm. 2. zahir as-Syaawisy. Cetakan kelima. 1397H-1977M. Al-Maktab al-Islami. Beirut.).

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah

Suatu hari saya membaca blog wahabisme.blogspot.com yang menfitnah ibnu Taimiyah. Berikut ini adalah tulisannya (Al qur’an menurut pandangan ibnu Taimiyah) :

Dalam tulisan kali ini, kita akan mengungkap satu pandangan dari perintis dan pembesut mazhab takfiriyah ini mengenai Al-quran. Yakni pandangan Ibnu Taimiyah tentang tafsir Al-quran. Satu hal yang di yakini oleh para ulama Ahlu Sunnah dan para mufassir dan telah disepakati secara ijmak adalah bahwa Al-quran mengandung dua sisi makna yakni dhahir dan bathin, luar dan dalam.

Pernyataan yang aneh sekali. Entahlah saya sama sekali tidak menemukan sumber para ulama, apalagi sahabat dan tabi’in yang mengatakan bahwa Al Qur’an memiliki dua sisi makna baik yang dhahir maupun yang bathin. Yang saya pahami adalah bahwa orang yang paling memahami Al Qur’an adalah Rasulullah dan para shahabat dengan kata lain makna Al Qur’an baik itu yang sudah jelas maupun yang perlu penjelasan adalah kita melihat bagaimana Rasulullah dan para shahabat menyikapi mengenai ayat itu.

Contoh :

"Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan" (QS. An-Nisaa : 4)

Pemahaman saya mengenai ayat ini adalah diperintahkannya untuk memberikan mahar kepada wanita yang akan dinikahi dan hanya itu pemahaman saya. Saya tidak mengetahui adanya makna bathin apalagi makna luar dalam.

Wahabisme.blogspot.com juga berkata :

Contoh paling nyata akan kebahlulan Ibnu Taimiyah adalah ketika dia menyakini bahwa semua ayat-ayat yang ada dalam Al-quran adalah Muhkamat dan tidak ada ayat dari ayat-ayat Al-quran yang Mutasyabihat. Contoh tentang keyakinan dia yang keblinger itu bisa kita baca pada Kitab Tafsir Ibnu Taimiyah yang dikenal dengan Tafsir Kabir. Disana dijelaskan bahwa ayat-ayat Al-quran semuanya adalah Muhkamat dan ayat mutasyabih itu tidak ada Lihat Kitab Tafsir Kabir, Juz 1, Halaman 253

Apakah benar ibnu taimiyah mengatakan demikian ? apakah ibnu Taimiyah mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al Qur’an ?. Sudah jelas bahwa wahabisame.blogspot.com sama sekali tidak memahami perkataan ibnu Taimiyah. Mungkin saya tidak berkomentar banyak mengenai masalah ini dikarenakan saya tidak punya buku Tafsir Kabir yang menjadi rujukan wahabisme.blogspot.com sehingga saya tidak bias mengecek silang apa yang dituduhkan wahabisme.blogspot.com. mohon maaf atas keterbatasan sarana saya.

Wahabisme.blogspot.com juga berkata :

Contoh dari dagelan yang dipamerkan Ibnu Taimiyah dalam manhaj tafsirnya dengan berdalih takwil ayat berdasarkan kesepakatan ulama tafsir dan para sahabat adalah ketika dia menafsirkan ayat Al-quran dengan dhohir ayat saja dan tanpa mentakwilkan makna bathin ayat tersebut. Sementara dakwaan dia bahwa tafsir ibnu taimiyah berdasarkan takwil dari sahabat dan ulama-ulama tafsir hanyalah kebohongan yang paling nyata dalam dagelan ini.

Misalnya kalau kita baca baca Tafsir surat An-nur, Halaman 178 dan 179. Disana dia katakan bahwa: “Saya menafsirkan ini berdasarkan Naql dari para sahabat, dan semua hadist serta ratusan tafsir mulai dari yang kecil sampai yang besar semuanya telah saya baca…” Sementara di alam realita mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah sama sekali tidak memperhatikan apa yang telah dia katakan tersebut dan malah sangat bertentangan dengan kebanyak ulama-ulama Sunnah dan hadist yang diriwayatkan dari para sahabat. Misalnya kalau kita lihat pada tafsir surat Al-qalam ayat 42, dia menafsirkan ayat ini berdasarkan dhohir dan tidak mentakwilkannya, sementara kebanyakan ulama jumhur dari Ahlu Sunnah mentakwil tafsir ini. Allah swt berfirman dalam surat Al-qalam ayat 42: “Yauma Yuksafu an Saaqin…..” Artinya: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; Maka mereka tidak kuasa”.Saaqin” disini mempunyai makna sesuatu yang dahsyat. Makanya dalam ibarat arab mengatakan: “Kasyful Harbi an Saaqiha”, yang artinya peperangan yang dahsyat telah dimulai. Lihat tafsir Tabari, Jilid 5, juz 8, Halaman 201 dan 202.

Atau ketika dia menafsirkan surat Adz-dzariyaat ayat 47:”Wa As-samaa Banainaaha Biaidin”. Yang artinya adalah: ”Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa”. Disana Ibnu Taimiyah juga menafsirkannya dengan dhohir ayat sementara ulama jumhur dari Ahlu Sunnah mentakwilkan tafsir ayat ini menjadi “Banainaaha Biquwwatin” yakni, “Kami bangun dengan kekuatan” sementara Biaidin ditafsirkan oleh ulama Ahlu Sunnah dengan kinayah atas kekuatan dan kekuasanNYa. Lihat Tafsir Tabari, Juz 27, Halaman 7.

Memang benar sekali bahwa Ibnu Taimiyah memandang bahwa Allah memiliki muka, dua tangan betis, mata, sifat turun ke langit dunia, bersemayam (istiwa), dan juga Allah berada di langit. Saya tidak akan membantah hal tersebut. Akan tetapi wahabisme.blogspot.com kurang mencermati perkataan ibnu Taimiyah dan menuduh bahwa ini sebuah dagelan tanpa melihat pendapat-pendapat ulama yang lainnya mengenai masalah ini. Sekalian saya bahasa tuduhan-tuduhan lainnya yang diberikan kepada Ibnu Taimiyah.

Perlu saya tekankan bahwa salah satu sifat Allah adalah bahwa tidak ada satupun yang serupa dengan Dia. Dengan kata lain Alah bisa punya dua tangan tapi jangan dibayangkan bahwa tangan Allah seperti tangan makhluk. Kita aja beda makhluk tangannya beda. Tangan kera sama tangan manusia beda. Apalagi tangan Allah. Dalam aqidah Ahlussunnah kita diwajibkan mengimani allah memiliki dua tangan akan tetapi bagaimana tangan Allah maka itu sesuai dengan kebesaran dan kesempurnaan Allah dan tak serupa dengan makhluknya. Ini yang saya pahami dari perkataan Ibnu Taimiyah.

Imam al-Auza’I yang dianggap Imam ahli Syam di jamannya. Beliau berkata: “Kami dan para tabi’in semuanya menetapkan dengan kesepakatan kami bahwa: Sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy-Nya dan kami beriman dengan apa yang telah dinyatakan oleh Sunnah berkenaan sifat-sifat Allah Ta’ala” (Lihat Fathul Bari halaman 406. Ibn Hajar al-Asqalani. Dar Ihya at-Turath al-Arabi. Beirut).

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, beliau telah menegaskan bahwa al-Qur’an bukan makhluk dan diturunkan oleh Allah yang berada di langit dan beliau seterusnya menjelaskan: “Allah mempunyai sifat, mempunyai tangan, bersemayam di atas Arasy-Nya dan al-Qur’an diturunkan dari langit”. (Lihat Iktiqad Aimatul Hadist hlm 50-51. Ismaili).

Imam as-Syafi’i rahimahullah menjelaskan (sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Talib setelah beliau ditanya tentang sifat Allah): Dan bagi-Nya dua tangan sebagaimana firman-Nya: (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Bagi-Nya tangan sebagaimana firman-Nya: Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya: Setiap sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya. Baginya kaki sebagai sabda Nabi saw: Sehinggalah Dia meletakkan wajah dan Kaki-Nya. Dia mempunyai jari sebagaimana sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wa-sallam: Tiadalah hati itu kecuali antara jari-jari dan jari-jari Ar-Rahman (Allah). Kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan dari menyerupakan sebagaimana dinafikan sendiri oleh Allah sebagaimana difirmankan: (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat). (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafie wa-Ahmad. Hlm 46-47).

Imam Syafi’i juga menjelaskan: Dan Allah Ta’ala di atas ‘Arasy-Nya (Dan ‘Arasy-Nya) di langit. (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafie wa-Ahmad. Hlm 40).

Imam Syafi’i juga menjelaskan: “Kita menetapkan sifat-sifat (Allah) sebagaimana yang didatangkan oleh al-Qur’an dan yang warid tentang-Nya dari sunnah, kami menafikan tasybih (penyerupaan) tentang-Nya karena dinafikan oleh diri-Nya sendiri sebagaimana firman-Nya” (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya). (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafi’i wa-Ahmad. Hlm 42).

Imam Syafi’i juga telah menjelaskan tentang turun naiknya Allah: “Sesungguhnya Dia (Allah) turun setiap malam ke langit dunia (sebagaimana) menurut khabar dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa-sallam”. (Lihat Iktiqad Qimmah al-Arba’ah. Abi Hanifah, Malik, Syafi’i wa-Ahmad. Hlm 47).

Pernyataan Ibnu Taimiyah dan Imam Syafi’i yang sejalan ini ternyata berlandaskan hadist Rasulullah sallallahu’alaihi wa-salam: “Tuhan kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir, maka Ia berfirman: Barangsiapa yang berdoa padaku maka akan aku kabulkan, barangsiapa yang meminta maka akan aku beri dan barangsiapa yang meminta ampunan maka akan aku ampunkan”. (HR. Bukhari:1141, /muslim:758, Abu Daud: 4733, Turmizi: 4393, Ibnu Majah: 1366, Ahmad:1/346)

Senin, 10 Desember 2007

Ziarah Kubur dilarang (bagian 2) ?

Umat islam di Indonesia dan juga banyak di Negara-negara lainnya memiliki kebiasaan berziarah ke kubur wali-wali untuk bertabarruk kepada Allah melalui perantara wali/ulama yang telah meninggal. Keyakinan ini karena adanya keyakinan bahwa orang-orang awam itu banyak dosanya sedangkan para wali/ulama yang telah meninggal itu lebih dekat kepada Allah karena amal dan ilmunya. Hal ini mungkin bisa kita ibaratkan Allah sebagai Raja kemudian wali/ulama adalah orang kepercayaan Raja. Sebagai rakyat kita sangat sulit tentu saja untuk menyampaikan keinginan kita kepada Raja. Salah satu cara untuk bias melakukannya tentu saja adalah dengan meminta bantuan kepada orang kepercayaan Raja untuk menyampaikan keinginannya. Inilah salah satu konsep kepercayaan adanya tabarruk kepada Allah melalui perantara nabi/wali/ulama.

Secara sekilas alasan seperti ini memang masih masuk akal. Akan tetapi jika kita perhatikan lagi Al Qur’an dan As Sunnah serta kesempurnaan sifat-sifat Allah alasan seperti diatas menjadi tidak masuk akal disebabkan oleh hal-hal berikut :

  • Dilihat dari pandangan kesempurnaan Allah, mengibaratkan Allah seperti layaknya seorang Raja adalah penghinaan yang sangat besar sekali kepada Allah. Raja adalah manusia yang hanya bisa melihat sebatas penglihatan matanya, yang hanya mendengar sebatas kemampuan telinganya, yang hanya mengetahui sebatas apa yang disampaikan kepadanya. Akan tetapi Allah adalah sempurna, penglihatanNya meliputi segala sesuatu, pendengaranNya meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu apapun yang tidak diketahuiNya.

Seorang rakyat harus menyampaikan keinginannya kepada orang kepercayaan Raja karena raja tidak bisa mengetahui setiap keinginan rakyatnya. Tidak demikian dengan Allah yang mengetahui segala sesuatu meskipun itu berada di hati manusia dan tidak pernah disampaikan kepada yang lainnya. Allah selalu mendengar keinginan setiap hambanya. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang aneh kalau kita bertabarruk kepada Allah dengan perantara nabi/wali/ulama yang telah mati. Orang yang mati tidak bisa mendengar, apalagi berbicara apalagi memberi berkah kepada kita. Beda kasusnya kalau kita datang ke Kyai yang masih hidup terus kita bilang “Ya Kyai tolong saya di doakan begini-begini”, suatu yang masih masuk akal karena kalau kyainya hidupkan masih bisa berdoa. Tapi jika sudah mati ?

  • Bertentangan dengan Al Qur’an. Banyak sekali ayat-ayat yang membahas masalah ini.

Ketika Allah berfirman tentang orang-orang Musyrik (Quraiys) dimana Rasulullah diperintahkan untuk mendakwahkan kalimat syahadat mereka berkata “Apakah Dia hendak menjadikan tuhan-tuhan yang banyak ini menjadi menjadi satu ilah saja ? sungguh ini adalah suatu hal yang mengherankan. Maka pergilah pemimpin-pemimpin mereka itu (seraya berkata), ‘Pergilah engkau dan tetaplah (menyembah) sesembahan-sesembahan engkau. Sesungguhnya ini adalah satu hal yang Dia kehendaki. Kami tiak mendengar hal ini dalam agama terakhir. Ini (yakni mengesakan Allah) tidak lain adalah (dusta) yang diada-adakan” (QS. Ash Shad:5).

Kamu musyrikin menyebut dengan Dia pada ayat diatas Yang dimaksud Adalah Allah Tuhan Semesta Alam karena pada kalimat setelahnya dikatakan bahawa sesungguhnya ini adalah satu hal yang Dia (Allah) kehendaki. Jika anda membaca tulisan saya sebelumnya tentang ‘Mereka berbohong atas nama kami’ maka anda pasti sudah memahami bahwa kaum musyrikin mengenal Allah sebagai Tuhan Semesta Alam dan Allah mengingkari penyembahan kepada Latta dan Uzza ( beberapa sesembahan mereka) merupakan bentuk pendekatan diri/tabarruk kepada Allah. Allah sama sekali tidak menerima alasan tabarruk mereka dan Rasulullah memerangi mereka Karena ini.

Lho, mas yang disembah kaum musyrikin kan patung lha sedangkan saya kan bertabarruk kepada Allah melalui perantara Nabi/Wali/ulama ya beda dong mas. Saya tidak menyembah nabi/wali/ulama kok. Saya cuma berharap dengan bertabarruk akan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Mungkin ini adalah alasan yang dikemukakan oleh pendukung tabarruk dikuburan. Suatu alasan yang mungkin logis.

Disini perlu saya tekankan lagi bahwa kaum musyrikin Quraisy waktu itu sama sekali tidak meyakini bahwa patung-patung yang mereka sembah mampu memberi manfaat/madharat kepada mereka baik itu memberikan rizki. Mereka melakukan itu semata-mata hanya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Mereka menyangka bahwa dengan bertaqarrub kepada patung-patung itu maka akan lebih mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana firman Allah “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ?’ Pasti mereka akan menjawab ‘Allah’, maka katakanlah kepada mereka ‘mengapa engkau tidak mau bertakwa ?’” (QS. Yunus :31)

Dan juga firman Allah : “dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’” (QS Az Zumar:3)

Dalam ayat ini tidak hanya patung yang menjadi konteksnya akan tetapi global berupa penyembahan-penyembahan terhadap patung-patung (meskipun sebenarnya patung-patung tersebut juga merupakan representasi orang-orang shalih), nabi, wali dan juga yang lainnya dimana tujuan kita adalah agar kita lebih didekatkan kepada Allah. Cara seperti ini sudah Allah ingkari sendiri dalam firmanNya.

Lalu kenapa kita bertabarruk di kuburan wali untuk mendekatkan diri kepada Allah padahal Allah telah mengingkari hal yang demikian itu dalam Al Qur’an ?

  • Bertentangan dengan perintah Rasulullah

Rasulullah bersabda : "Laknat Allah bagi orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid". (HR.Bukhori dan Muslim).

Yang ingin saya tekankah disini bahwa kita sepakat bahwa menjadikan kuburan nabi-nabi sebagai masjid adalah terlaknat. Karena kalau kita tidak sepakat untuk masalah ini percuma saja anda membaca lanjutan tulisan ini karena sejak awal anda sudah mengingkari hadits Rasulullah.

Pada kasus orang Nashrani sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Aisyah Radiyallahuanha dia menuturkan bahwa Ummu salamah[1] bercerita kepada rasulullah sallallahu Alaihi Wasallam tentang gereja yang dilihatnya di neger Habasyah beserta gambar-gambar yang ada di Gereja itu. Nabi lantas bersabda “

Jika ada orang yang shalih – atau hamba yang shalih – diantara mereka meninggal, mereka bangun diatas tempat ibadah dan menggambar wujud orang shalih tersebut di dalamnya. Mereka itu adalah sejelek-jelek orang disisi Allah“ (HR. Bukhari 427, Muslim 528)

Dengan kata lain kuburan-kuburan orang shalih itu berada di dalam gereja dan mereka berdo’a kepada orang shalih tersebut. Hal ini merupakan ibadah sehingga Allah melaknat mereka karena ini. Dalam konteks ini membangun kuburan di dalam masjid juga termasuk dalam kategori ini. Dan hal ini juga perbuatan yang dilarang.

Yang menjadi masalah bagaimana kalau kita berdo’a dalam rangka taqarrub dikuburan bukan dimasjid yang ada kuburannya atau kuburan yang dijadikan masjid ?

Dalam hal ini larangan ini juga berlaku untuk taqarrub pada kuburan wali/nabi karena selain melaknat orang yahudi dan nashrani mengenai hal itu Rasulullah juga dimakamkan di dalam rumah beliau sendiri bukan diluar. Mengenai hal ini Aisyah berkata “hanya saja dikawatirkan kalau kubur beliau dijadikan tempat ibadah” (Hadits Bukhari dan Muslim saya tidak tahu tepatnya nomor berapa silakan cari sendiri ). Maknanya disini tidak harus membangun masjid diatas kuburan akan tetapi makna yang lebih luas yaitu ibadah. Dengan kata lain dilarang melakukan tindakan ibadah dikuburan nabi/wali tidak hanya sholat saja akan tetapi tindakan ibadah kecuali apa yang telah di syariatkan dalam berziarah ke kuburan.

Untuk saat ini hanya ini yang bias saya sampaikan. Jika ada kritik dan koreksi kesalahan silakan disampaikan kepada saya.



[1] Beliau adalah Hindun Binti Abi Umayyah bib Al Mughirah Al Qurasyiah Al Makhzumah. Beliau dinikahi Rasulullah setelah ditingal wafat oleh abu salamah pada tahun 4H. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau menikahi Ummu Salamah pada 3H. Ummu Salamah wafat pada tahun 62H.