Selasa, 20 November 2007

Ziarah Kubur dilarang (bagian 1) ?

SalafyIndonesia menuliskan : Kelompok Wahaby (Jama’ah Takfiri) yang menyandarkan pendapatnya pada fatwa Ibnu Taimiyah menyatakan akan pengharaman ziarah kubur. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid: 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadis yang lemah (Dzaif), bahkan dibikin-bikin (Ja’li) ”. Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadis bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini diikuti secara fanatik dan membeo oleh semua ulama Wahaby, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama-ulama Wahaby lainnya. Selain itu, mereka berdalih dengan beberapa ayat al-Quran dan hadis yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kaum muslimin.

Di dalam islam ziarah kubur itu merupakan syari’at bertujuan agar orang yang melakukannya bisa mengambil pelajaran dari kematian yang telah mendatangi penghuni kubur dan dalam rangka mengingat negeri akhirat meskipun sebelumnya Rasululah Sallallahu Alaihi Wasallam melarangnya sebagaimana hadits berikut :

Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” (HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta'ala fi Ziyarati Qabri Ummihi)

alam riwayat An-Nasa`i disebutkan: “Siapa yang ingin ziarah kubur maka silahkan ia berziarah, namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[1][2]

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada ibrah/ pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad 3/38, 63, 66, Al-Hakim 1/374,375 dan ia mengatakan: “Shahih di atas syarat Muslim.” Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz hal. 228 mengatakan, kedudukan hadits ini sebagaimana dikatakan Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu disebutkan faedah lain dari ziarah kubur. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.”[3]


Dalam riwayat Ahmad dari Buraidah radhiallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:“Agar ziarah kubur itu mengingatkan kalian kepada kebaikan.”[4]


Dalam riwayat Al-Hakim dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu disebutkan: “Karena ziarah kubur itu melembutkan hati dan mengalirkan air mata, serta mengingatkan pada akhirat namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[5]


Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Ziarah kubur ini awalnya dilarang karena masih dekatnya masa mereka (para shahabat) dengan masa jahiliyah. Sehingga bisa jadi ketika melakukan ziarah kubur, mereka mengucapkan perkataan-perkataan jahiliyah yang batil. Maka ketika kaidah-kaidah Islam telah tegak, kokoh dan mantap, hukum-hukum Islam telah teratur dan terbentang, serta telah masyhur tanda-tandanya, dibolehkanlah bagi mereka untuk ziarah kubur. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membatasinya dengan ucapan beliau: namun jangan kalian mengucapkan hujran” (Al-Majmu’, 5/285)


Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Semua hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang dimaukan secara syar’i.” (Subulus Salam, 2/181)

Bagaimana ziarah bagi wanita ?

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang bolehnya ziarah kubur bagi laki-laki[6]. Namun berbeda halnya bila berkenaan dengan wanita. Mereka terbagi dalam tiga pendapat dalam menetapkan hukumnya:

  1. Makruh tidak haram. Demikian satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dengan dalil hadits Ummu ‘Athiyyah radhiallahu 'anha:

Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami) untuk mengikuti jenazah, namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.”[7]

  1. Mubah tidak makruh, berdasarkan dalil dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha juga yang dikeluarkan Al-Imam Muslim tentang doa ziarah kubur yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah ketika ia berkata: “Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?”
    Beliau mengajarkan: “Katakanlah: “Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian. (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)
  2. Haram, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.” (HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa`, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa` Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa`ul Ghalil no. 762)

Ada hadits lain yang datang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan.” (HR. An-Nasa`i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur) Namun sanad hadits ini dha’if sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah ketika membawakan hadits no. 225.

Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu 'anhuma berkata: “Kami mengubur mayat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah selesai, Rasulullah kembali pulang dan kami pun pulang bersama beliau. Ketika beliau bersisian dengan pintu rumahnya, beliau berdiri. Tiba-tiba kami melihat ada seorang wanita yang datang dan ternyata dia adalah Fathimah putri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bertanya:

Apa yang membuatmu keluar dari rumahmu, wahai Fathimah?”

Ya Rasulullah, aku mendatangi keluarga orang yang meninggal di rumah itu untuk mendoakan rahmat bagi mereka dan menghibur mereka (berta’ziyah),” jawab Fathimah.“Mungkin engkau sampai ke kuburan bersama mereka,” kata Rasulullah. Aku berlindung kepada Allah dari melakukan hal itu. Sungguh aku telah mendengar apa yang engkau sabdakan dalam masalah itu,” jawab Fathimah. Seandainya engkau sampai mendatangi kuburan bersama mereka, niscaya engkau tidak akan melihat surga sampai surga itu bisa dilihat oleh kakek ayahmu,” sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. An-Nasa`i no. 1880, kitab Al-Jana`iz, bab An-Na’yu, namun hadits ini dhaif sebagaimana dalam Dha’if Sunan An-Nasa`i).

Sampai disini bisa disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat ulama mengenai masalah ini. Memang benar Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim mengambi pendapat yang ketiga. Tapi manakah pendapat yang paling benar ?

Dengan memperhatikan isi hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.”. Disitu ditekankan adalah wanita yang banyak berziarah bukan semua wanita yang berziarah. Sehingga wanita yang berziarah hanya sekali-kali tidaklah masuk dalam ancaman hadits di atas.

Kalau ada yang berargumen bahwa ada hadits lain yang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan, Maka penjelasannya sebagai berikut: Hadits ini elah diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhum. Semuanya membawakan dengan bentuk mubalaghah: , kecuali satu riwayat dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dari jalan Abu Shalih maula Ummu Hani’ bintu Abi Thalib radhiallahu 'anha dibawakan dengan lafadz:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائرَاتِ الْقُبُوْرِ

Kita perhatikan lafadznya tidak berbentuk mubalaghah. Namun perlu diketahui, rawi yang berkunyah Abu Shalih ini bernama Badzan atau Badzam. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu: “Ia perawi yang dha’if (lemah).” (Taqribut Tahdzib, hal. 59, no. 634)


Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Ia dha’if menurut jumhur nuqqad. Tidak ada seorang pun yang mentsiqahkannya kecuali Al-’Ijli sebagaimana dikatakan Al-Hafizh dalam At-Tahdzib, bahkan Isma’il bin Abi Khalid dan Al-Azdi mendustakannya. Sebagian yang lain menjelekkannya dengan suka berbuat tadlis. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, hadits no. 225, hal. 393-394 dan Al-Irwa`, 3/212)


Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa yang shahih dari hadits ini hanyalah yang menyebutkan lafadz mubalaghah karena bersepakatnya hadits Abu Hurairah dan hadits Hasan radhiallahu 'anhuma. Bahkan disepakati pula oleh hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dalam riwayat dari kebanyakan perawi, walaupun padanya ada kelemahan sehingga tidak pantas dijadikan sebagai syahid (pendukung), namun tidak menjadi masalah, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu. Dengan demikian yang dilaknat dari hadits tersebut adalah wanita-wanita yang banyak melakukan ziarah kubur. Adapun yang tidak sering maka tidaklah masuk dalam laknat tersebut.

Dari hal ini maka bisa diambil kesimpulan bahwa pendapat ziarah kubur bagi wanita adalah haram merupakan pendapat yang tidak kuat. Yang benar adalah haram jika wanita banyak-banyak berziarah kubur.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Laknat yang disebutkan dalam hadits hanyalah ditujukan kepada para wanita yang banyak ziarah kubur karena dalam hadits disebutkan dengan bentuk mubalaghah. Sebab pelarangannya mungkin karena bila wanita sering ziarah kubur akan mengantarkannya untuk menyia-nyiakan hak suami dan keluar dengan tabarruj. Di samping juga akan muncul teriakan-teriakan/suara keras dari si wanita di sisi kubur dan semisalnya. Dan dinyatakan bahwa bila aman dari terjadinya semua itu maka tidak ada larangan memberi izin kepada mereka untuk datang ziarah ke kubur, karena mengingat kematian dibutuhkan bagi laki-laki dan juga bagi wanita.” (Fathul Bari, 3/190)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata mengomentari ucapan Al-Imam Al-Qurthubi di atas: “Ucapan ini sepantasnya dijadikan sebagai sandaran/pegangan dalam mengumpulkan di antara hadits-hadits dalam pembahasan ini yang secara dzahir terlihat saling bertentangan.” (Nailul Authar, 4/147)

Tapi apakah hukumnya mubah atau makruh ?

Mengenai hal ini karena tidak ada dalil khusus selain pelarangan banyak-banyak berziarah maka hukum wanita berziarah sama dengan hukum laki-laki yaitu mustahab karena Rasulullah bersbda :

Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan

Mengenai pendapat Syaikh Bin Baz mengenai keharaman ziarah kubur (jika memang benar) bagi wanita maka itu adalah ijtihad beliau. Saya sendiri sebagai seorang salafy tidak diwajibkan sama sekali bertaklid kepada beliau. Saya meringkas pendapat-pendapat para ulama kemudian mengambil kesimpulan yang saya anggap lebih kuat hukumnya. Dan saya berpendapat bahwa hukum asal wanita berziarah adalah boleh.

Mengenai pernyataan Ibnu Taimiyah yang dimaksud “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadist bohong” adalah hadits-hadits yang menyatakan bolehnya pergi ke kuburan nabi untuk bertabarruk kepada beliau atau datang jauh-jauh hanya dengan niat mengunjungi kuburan Rasulullah dan saya juga berpendapat seperti itu. Hal ini tidak akan saya jelaskan disini akan tetapi akan saya jelaskan pada halaman tersendiri

[1] Hujran atau hujr adalah ucapan-ucapan yang batil (Al-Majmu, 5/285) atau kata-kata yang keji/ kotor, termasuk juga banyak berbicara yang tidak sepantasnya. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, hal. 986)

[2] HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 2033, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i

[3] HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2256, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta'ala fi Ziyarati Qabri Ummihi

[4] HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 5/355

[5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/376

[6] Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’ 1/190, karya Ibnul Qaththan

[7] HR. Al-Bukhari no. 1278 kitab Al-Jana`iz, bab Ittiba’in Nisa` Al-Jana`iz dan Muslim no. 2163, 2164, kitab Al-Jana`iz, bab Nahyin Nisa` ‘anit Tiba’il Jana`iz


Minggu, 18 November 2007

Mereka Berbohong Atas Nama Kami ( bagian 2)

Salafyindoensia menyatakan Salah satu kerancuan yang sangat mendasar dalam memahami konsep tauhid dan syirik versi Wahaby adalah kesalahpahaman mereka dalam memaknai konsep tauhid dalam peribadatan (tauhid fil ibadah). Dalam kitab-kitab Mu’jam (katalog bahasa Arab) disebutkan bahwa kata “ibadah” dari sisi bahasa memiliki arti “merendah diri” (khudhu’) ataupun “menghinakan diri” (tadzallul). Hal inilah yang disebutkan oleh Raghib al-Isbahani dan Ibnu Mandhur dalam kitab karya-karya mereka. Jadi, secara bahasa dan arti umum ibadah berartikan menampakkan perendahan diri dan ketaatan. Namun jika dilihat dari sisi istilah yang dipakai dalam akidah Islam dan makna khusus maka ibadah tidak dapat disamaartikan hanya dengan perendahan diri dan ketaatan. Hal itu dikarenakan banyak hal yang dalam kehidupan sehari-hari kita dan termasuk perintah agama yang terdapat teks agama Islam (al-Quran dan Hadis) pun akan masuk kategori ibadah kepada selain Allah; sebagai contoh:

1. Ketundukan dan kepatuhan seorang anak terhadap orang tuanya maka akan tergolong ibadah kepada keduanya:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil” (QS al-Isra’: 24).

2. Sujud para Malaikat kepada nabi Adam maka akan masuk kategori peribadatan Malaikat terhadap Adam:

“Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah[36] kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.(QS al-Baqarah: 34)

3. Sujud nabi Ya’qub beserta anggota keluarganya di hadapan nabi Yusuf maka akan tergolong ibadah terhadap Yusuf:

“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf”. (QS Yusuf: 100)

4. Merendahkan diri seorang mukmin terhadap saudaranya sesama mukmin juga akan tergolong beribadah kepadanya:

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap merendah (adzillah) terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”.(QS al-Maidah: 54)

Terus terang saja kami tidak mengetahui apakah salafyindoensia benar-benar pernah membaca karya syaikh muhammad bin abdul wahhab. salafyindonesia diatas sangat jauh dari apa yang dimaksud tauhid uluhiyyah. memahami konsep tauhid uluhiyah yang kami maksud atau tidak, karena contoh-contoh diatas sangat aneh bagi kami bagi mereka yang memahami konsep tauhid uluhiyah yang kami maksud. Pernyataan

Kami sebelumnya mohon maaf jika penjelasannya nantinya terlalu panjang, karena sulit bagi kami menjelaskan tauhid uluhiyah dalam waktu singkat. Jadii kami mohon saudara pembaca bersabar dan membaca tulisan ini hingga selesai agar bisa memahami konsep tauhid uluhiyah yang kami maksud.

Orang-orang kafir Quraisy mengakui ketuhanan ( Rububiyah) Allah

Banyak sekali dari kalangan umat islam yang menganggap kafirnya kaum Quraisy yang memerangi Rasulullah adalah karena mereka tidak mau menerima Allah sebagai Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi, yang telah memberikan rizki kepada kita semua. Sama sekali bukan itu, kaum Quraisy tahu bahwa Tuhan adalah Allah bukan Latta ataupun Uzza dan patung-patung lainnya yang mereka sembah.

Allah berfirman,

Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?’ Niscaya mereka akan menjawab, ‘yang menciptakan semua itu adalah Yang Maha Perkasa lagi maha Mengetahui’” (QS. Az Zukhruf : 9)

Dan jika engkau bertanya kepada mereka ‘Siapakah yang menciptakan mereka ?’ niscaya mereka akan menjawab Allah.” (QS. Zukhruf : 87)

Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa ( menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ?’ Pasti mereka akan menjawab : ’Allah’. Maka katakanlah, ‘mengapa engkau tidak mau bertakwa (kepada-Nya)” (QS. Yunus : 31)

Katakanlah kepada mereka, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika engkau mengetahiu ?’, mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah ‘Apakah engkau tidak mau sadar ?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang mempunyai langit yang tujuh dan mempunyai ‘Arsy yang sangat besar?’ Mereka akan menjawab : ‘kepunyaan Allah’ Katakanlah ‘Mengapa engkau tidak mau bertakwa ?’ Katakanlah ‘Siapakah yang ditangan-Nya ada kekuasaan terhadap segala sesuatu, yang melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika engkau mengetahui ?” (QS : Al Mu’minum : 84-89)

Bukti yang lainnya adalah nama dari ayah Rasulullah. Abdullah dalam bahasa Indonesia artinya Hamba Allah. Bagaimana mungkin seseorang bernama Abdullah dimana saat itu dakwah islam belum ada kecuali kalau memang sejak awal sebelum islampun orang arab waktu itu sudah mengenal Allah.

Bukankah ayat-ayat dan bukti lainnya diatas menyatakan bahwa orang-orang kafir Quraisy pun mengenal Allah sebagai Tuhan ( dalam hal Rububiyah). Akan tetapi mengakui Rububiyah Allah saja tidak bisa menjadikan mereka seorang muslim. Lalu apa alasan kaum Quraisy waktu itu menolak dakwah Rasulullah ?

Perhatikan fiman Allah berikut :

hai Musa, buatlah untuk kami (Tuhan) berhala sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan (berhala).”. Musa menjawab “Sesungguhnya engkau ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. Sesungguhnya kepercayaan yang dianut mereka itu telah dihancurkan dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan” (QS : Al A’raf : 138-139)

Mengapa ia (Muhammad) hendak menjadikan tuhan-tuhan yang banyak ini mnejadi Tuhan Yang Satu saja ? sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang snagat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka seraya berkata “Pergilah kamu, dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar sesuatu hal yang dikehendaki (Allah), kami tidak pernah mendengar hal ini pada agama yang terakhir, ini (mengesakan Allah) tidak lainm hanyalah (dusta) yang diada-adakan” (QS : Shad 5-7)

Apakah kaum nabi Musa tidak mengenal Allah sampai-sampai mereka meminta dibuatkan sesembahan berupa berhala ?. tentu saja tidak, kaum nabi Musa mengenal Allah. Demikian juga kaum kafir yang menentang Rasulullah saat ini. Bagaimanapun juga orang arab adalah keturunan nabi Ismail putra Nabi Ibrahim yang jelas-jelas seorang nabi. Sangat wajar kalau bangsa arab sudah mengenal Allah.

Orang-orang kafir Quraisy tidak menganggap bahwa patung—patung yang mereka sembah bisa memberikan manfaat dan madarat kepada mereka

Dari penjelasan kami sebelumnya , para pembaca mungkin akan bingung dan bertanya-tanya. Lho ? kalau memang kaum kafir Quraisy yang memerangi dakwah Rasulullah saat itu meyakini ketuhanan Allah, meyakini bahwa Allah yang menciptakan mereka, bahwa Allah yang mengatur segala urusan, bahwa hanya Allah yang bisa memberi manfaat dan madharat kepada mereka kenapa orang-orang kafir Quraisy masih menyembah patung-patung ? bukannya ini adalah sesuatu yang kontradiktif ?

Justru permasalahan dari konsep tauhid uluhiyah adalah disini. Perhatikan firman Allah berikut :

Mereka mengatakan sesembahan itu adalah pemberi-pemberi syafaat bagi kami disisi Allah” (QS Yunus : 18)

Orang-orang yang menjadikan para wali sebagai sesembahan selain Allah (mereka mengatakan), ‘Tiadalah kami menyembah kepada mereka melainkan kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’” (QS Az Zumar : 3)

Orang-orang musyrik Quraisy waktu itu menganggap bahwa penyembahan mereka kepada Latta dan Uzza dan juga patung-patung lainnya sebagai bentuk Taqarub kepada Allah. Mereka tidak meyakini bahwa patung-patung tersebut yang memberikan rizki kepada mereka, mereka tidak meyakini bahwa patung-patung tersebut bisa memberikan manfaat maupun mudharat kepada mereka.

Dan Allah berfirman :

maka apakah patut kalian (Hai orang-orang musrik) menganggap Lata, Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kalian (naka) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah pembagian yang tidak adil. Mereka adalah nama-nama yang diada-adakan oleh kalian dan Bapak-bapak kalian. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Pereka tidak lain hanyah mengikuti persangkaan dan apa yang diinginkan hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah dating petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (QS An Najm, 19-23)

Kenapa Latta an Uzza ?

l-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mencerca kaum musyrikin dengan peribadatan mereka kepada patung-patung, tandingan-tandingan bagi Allah dan berhala-berhala, di mana mereka memberikan rumah-rumah untuk menyaingi Ka’bah yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Al-Lata adalah sebutan untuk batu yang terukir di mana di atasnya dibangun rumah dan berada di kota Thaif. Ia memiliki kelambu dan juru kunci dan di sekitarnya terdapat halaman yang diagungkan oleh penduduk Thaif, yaitu kabilah Tsaqif dan yang mengikuti mereka. Mereka berbangga-bangga dengannya di hadapan seluruh kabilah Arab kecuali Quraisy.

Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Mujahid, Rabi’ bin Anas mereka membaca (الاَّتَ) dengan ditasydidkan taa (تَّ) dan mereka menafsirkannya dengan: “Seseorang yang mengadoni gandum untuk para jamaah haji di masa jahiliyyah. Tatkala dia meninggal, mereka i’tikaf di kuburannya lalu menyembahnya.”

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata tentang firman Allah “Al-Latta dan Al-’Uzza.”: “Al-Latta adalah seseorang yang menjadikan gandum untuk para jamaah haji.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/35, lihat Tafsir Al-Qurthubi, 9/66, Ighatsatul Lahfan, 1/184)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Al-Latta dengan bacaan ditasydidkan huruf taa adalah bacaan Ibnu ‘Abbas berdasarkan bacaan ini berarti isim fa’il (bentuk subyek) dari kata ‘latta’ (yang berbentuk) patung, ini asalnya adalah seseorang yang mengadoni tepung untuk para jamaah haji yang dicampur dengan minyak samin lalu dimakan oleh para jamaah haji. Tatkala dia mati, orang-orang i’tikaf di kuburnya lalu mereka menjadikannya sebagai berhala.” (Qaulul Mufid, 1/253)

Secara singkatnya Latta adalah orang yang senantiasa mengaduk gandum untuk dibagikan kepada orang-orang yang berhaji pada waktu itu. Setelah beliau meninbggal orang-orang berkumpul di dekat kuburannya. Kemudian setelah itu mereka membuat patung untuk mengagungkan beliau atas kelebihan beliau. Latta merupakan orang shalih pada zamannya. Dengan kata lain kaum kafir waktu itu menyembah kepada Latta agar mereka lebih bisa didekatkan kepada Allah Azza Wajalla, karena mereka tahu bahwa Latta adalah orang yang shalih sehingga mereka berharap dengan bertaqarrub kepada Latta mereka akan di dekatkan kepada Allah, akan tetapi Allah menyangkal perbuatan mereka itu. Allah mengingkari bahwa mendekatkan diri kepada Latta dan Uzza bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah.

Firman Allah ,

Mereka mengatakan sesembahan itu adalah pemberi-pemberi syafaat bagi kami disisi Allah” (QS Yunus : 18)

Orang-orang yang menjadikan para wali sebagai sesembahan selain Allah (mereka mengatakan), ‘Tiadalah kami menyembah kepada mereka melainkan kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’” (QS Az Zumar : 3)

Kesyirikan seperti ini juga terjadi pada Masa Nabi Nuh Alaihissalam firman Allah :

“Nuh berkata: Ya Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yang amat besar. Dan mereka berkata jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Yauq dan Nasr. Dan sesungguhnya mereka menyesatkan kebanyakan manusia. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (Nuh: 21-24)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam riwayat Al-Bukhari menyatakan: “Mereka adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika orang-orang shalih itu mati, tampillah setan menyampaikan kepada orang-orang agar mendirikan di majelis-majelis mereka gambar orang-orang shalih tersebut dan namakanlah dengan nama-nama mereka! Orang-orang pun melakukan hal tersebut dan belum disembah, sampai ketika mereka meninggal dan ilmu semakin dilupakan, maka gambar-gambar itu pun disembah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Bukan hanya satu ulama salaf yang mengatakan: ‘Mereka adalah orang-orang shalih dari kaum Nuh. Tatkala mereka meninggal, orang-orang i’tikaf di kubur-kubur mereka lalu membuat patung-patung tersebut hingga masa yang sangat panjang, lalu menjadi sesembahan.” Kemudian beliau mengatakan: “Mereka telah menghimpun dua fitnah yaitu fitnah kubur dan fitnah menggambar.” (Ighatsatul Lahfan, 1/184)

Mereka Berbohong Atas Nama Kami ( bagian 1)

Bismillahirrahmaanirrahim,

Beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah situs blog yang menuduh kami (salafy) sebagai jamaah takfir. Kami adalah jama’ah yang memiliki kerancuan konsep tauhid (salafyindonesia.wordpress.com)

Berikrar syahadat berarti terjauhkan dari perbuatan syirik ?

Tulisan pada blog salafyindonesia mengatakan bahwa kami (salafy) merasa diri sebagai paling monoteisnya (ahli tauhid) makhluk di muka bumi maka dengan otomatis merekapun akhirnya suka menuduh kelompok muslim lainnya yang tidak sepaham sebagai pelaku syirik, penyekutu Allah swt. Padahal terbukti bahwa para pengikut muslim lain -selain Wahaby- pun telah mengikrarkan Syahadatin (dua kalimat syahadat) dengan ungkapan “Tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Kalimat ini sebagai bukti bahwa seseorang telah dinyatakan muslim (pengikut Islam Muhammad) dan telah terjauhkan dari ajaran syirik yang diperangi oleh agama Islam dari berbagai mazhab Islam manapun.

Tentu saja kami ini (salafy) adalah umat islam, sudah sewajarnya kami menjauhkan diri dengan apa yang disebut kesyirikan. Kami mengajarkan kepada umat untuk menjauhi kesyirikan kepada Allah. Tapi tuduhan bahwa kami menuduh semua kelompok yang tidak sepaham dengan kami adalah pelaku syirik yang bisa kami katakan adalah, kita bedanya dimana dulu ?. Jika perbedaannya pada hal kami tidak membaca qunut saat subuh dan yang lainnya membaca maka otomatis pihak yang membaca qunut subuh adalah pelaku syirik ?, tentu sangat tidak masuk akal. Tolong dibedakan antara maksiat (secara umum) dan perbuatan kesyirikan kepada Allah. Akan tetapi jika memang sesorang itu melakukan perbuatan kesyirikan kepada Allah apakah salah kalau kami mengatakan bahwa kami menasehati seorang tersebut bahwa dia telah berbuat kesyirikan dan menasehatinya untuk bertobat ?

Kami sangat tahu bahwa setiap muslim pastinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi bukan berarti dengan mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut secara otomatis mereka terjauhkan dari perbuatan kesyirikan. Ikrar syahadat menunjukkan bahwa seseorang telah menjadi muslim, bukan bersih dari kesyirikan.

Abu Waqid Al Laitsi[1] berkata, “Kami pergi keluar bersama Rasulullah menuju Hunain. Waktu itu kami baru saja masuk islam. Ketika itu orang-orang musryik memiliki sebatang pohon untuk bersemedi dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu dinamakan dengan dzatu anwath. Tatkala kami melewati pohon tersebut kami berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah dzatu anwath untuk kami seperti mereka.”.

Rasulullah bersabda,

Allahu Akbar, itu adalah tradisi orang-orang sebelum kalian. Demi Dzat yang diriku berada ditangan-Nya, ucapan kalian itu seperti ucapan Bani Israil kepada Nabi Musa, “Buatkanlah sesembahan-sesembahan untuk kami sebagaimana mereka juga memiliki sesembahan yang banyak” (QS : Al A’raf : 138) Kalian pasti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian”. (Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi 2180, Nasa’I dalam Al Kubra 11185, Ahmad 5/218, Ibnu Hibban 6702, Abu YA’la 1441, Ibnu Syaibah 15/101, Thabrani dalam Al Kabir 3290)

Lihatlah, bukankah sahabat Abu Waqid dan yang lainnya sudah masuk islam, akan tetapi mereka terjebak kepada sebuah kesyirikan (walaupun bukan maksud mereka untuk berbuat syirik kepada Allah). Lalu bagaimana bisa salafyindonesia menyatakan bahwa setiap muslim yang telah bersahadat telah terjauhkan dari perbuatan kesyirikan ?.

Imran bin Hushain[2] menuturkan bahwa Rasulullah melihat seseorang yang memakai halqah – semacam gelang atau kalung yang dikenakan di badan – dari kuningan. Beliau lantas bersabda, “ Apa ini ?” orang itu menjawab, “Penangkal sakit.” Nabi bersabda, “Lepaskanlah barang itu. Barang itu hanya akan menambah kelemahan pada dirimu. Kalau engkau meninggal padahal halqah itu masih engkau pakai maka engkau tidak akan beruntung selama-lamanya.” (Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad 4/445 dan Ibnu Majah 3531)

Ibunu Abi Hatim[3] meriwayatkan dari Hudzaifah[4] bahwa Nabi melihat seseorang memakai benang untuk mengobati sakit panas. Beliau lalu memutus benang tersebut seraya membaca firman Allah Ta’ala “ Sebagian besar dari mereka tidak meriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan selainnya)”. (QS. Yusuf : 106)

Tiga contoh diatas sudah sangat membuktikan bahwa mereka yang sudah muslimpun masih bisa terjerumus dalam kesyirikan.

Salafyindonesia menyatakan Dalam buku-buku karya ulama Wahaby –sebagai contoh dapat anda telaah dalam kitab at-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab yang disyarahi oleh Abdul Aziz bin Baz- akan kita dapati bahwa ajaran tauhid menurut kaum Wahaby hanya mereka bagi menjadi dua bagian saja; tauhid dalam pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) dan tauhid dalam ketuhanan (uluhiyah). Lantas tauhid dalam pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) mereka artikan dengan tauhid dalam penciptaan (khaliqiyah). Sedang mereka tafsirkan tauhid dalam ketuhanan (uluhiyah) dengan tauhid dalam peribadatan (ubudiyah). Dengan kata lain, kaum wahabi telah mengidentikkan ketuhanan (uluhiyah) dengan peribadatan (ubudiyah), dan pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) dengan penciptaan (khaliqiyah). Dan akan jelas sekali kasalahan fatal dalam pembagian, pengertian dan pengidentikan semacam ini. Akan kita buktikan secara ringkas di sini.

Terus terang kami tidak yakin pihak salafyindonesia benar-benar membaca kitab tauhid karya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Walau membacapun terlihat sekali yang dibaca hanya sekilas saja sehingga mengambil kesimpulan yang sangat jauh dari yang dimaksud syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak mengatakan bahwa tauhid dibagi menjadi 2 bagian akan tetapi 3, yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa sifat.

Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Allah dalam Hal penciptaan, penguasaan, dan pengaturan alam semesta. Kami berkeyakinan bahwa hanya Allah yang telah menciptakan alam semesta ini, Allah yang mengatur dan menguasai alam semesta ini. Tauhid Rububiyah menetapkan bahwa Allah adalah Tuhan secara mutlak. Tauhid Rubuiyah tak terbatas pada pengaturan dan pemeliharaan saja seperti yang dituduhkan salafyindonesia kepada kami.

Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Semua ibadah kita tujukan semata-mata kepada Allah. Tidak boleh bagi kita selain beribadah kepada Allah juga beribadah kepada selainnya.

Tauhid Asma’ wa Sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifatnya yang terdapat dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya. Untuk lebih jelasnya silakan dilanjutkan membaca tulisan ini pada bagian 2.


[1] Beliau adalah Al Harits bin ‘Auf seorang sahabat yang terkenal dan wafat tahun 68H.

[2] Beliau adalah Abu Nujaid ‘Imran bin Hushain Al Khuzai. Bapak beliau juga seorang sahabat. Beliau masuk islam pada waktu perang Khaibar dan wafat di Bashrah pada tahun 52.

[3] Beliau adalah Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris Ar Razi. Beliau adalah penulis kitab Al Jahr Wat Ta’dil. Beliau wafat pada tahun 327H.

[4] Beliau adalah Hudzzaifah Ibnul Yaman seorang sahabat terkemuka dan termasuk kedalam orang yang awal-awal masuk islam. Beliau wafat pada tahun 36H

Sebuah pra kata sebelum memulai segala sesuatu

Bismillahirrahmanirrahiim

Segala puji bagi Allah, saya memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya dan meminta ampun kepada-Nya. Saya berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa dan amal kami. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Sholawat serta salam semoga terlimpah kepada beliau, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengukuti mereka.

Amma ba’du. Sungguh telah muncul tulisan-tulisan yang menuduh Salafy (kami) sebagai jama’ah takfiri (jama’ah yang suka mengkafirkan kelompok selainnya) oleh sebuah blog salafyindonesia.wordpress.com. Entah kenapa salafyindonesia mengatakan demikian. Apakah kami mengatakan bahwa semua yang ikut dalam Jama’ Tablig, Ikhwanul Muslimin, Hisbut Tahrir dan juga kelompok-kelompok lainnya itu kafir tanpa kecuali ?. MasyaAllah seungguh sebuah kedustaan yang sangat besar. Mengkafirkan itu perbuatan yang mudah di lisan berat pertanggung jawabannya. Banyak sekali syarat yang harus dipenuhi untuk mengatakan satu orang saja untuk kafir apalagi mengkafirkan satu atau beberapa kelompok.

Terus terang saja saya hanya sholat kalau imamnya seorang muslim. Saya yakin kalau Nashrani dan Yahudi selama mereka belum mau memeluk islam mereka kafir. Saya juga sholat dibelakang imam NU, saya juga sholat jika imamnya dari Muhammadiyah. Saya tidak pernah mengatakan mereka kafir (keluar dari islam) dengan bukti saya masih sholat dibelakang mereka.

Sebuah kaidah mengkafirkan

Untuk mengkafirkan seseorang perlu banyak sekali syarat yang harus dilakukan. Tidak asal kamu berbuat syirik kepada Allah maka kamu kafir. Terlalu berat ya Akhi. Berikut ini kaidah yang harus dilakukan :

  1. Wajib diketahui dengan jelas apakah orang yang melakukan perbuatan yang bisa mengarahkan kepada kekufuran/perbuatan kekufuran itu sudah pernah mendapatkan nasehat dan penjelasan tentang kekufuran yang dilakukannya ataukah tidak. Sesorang yang belum tahu bahwa sebenarnya dia telah melakukan tindakan kekufuran tidak bisa dihukumi kafir (murtad). Secara syari’i dia telah melakukan kekufuran tapi ketidaktahuannya mengenai masalah ini menghukumi orang tersebut belumlah kafir.
  2. Wajib menggunakan petunjuk dari Al Qur’an dan As-Sunnah mengenai kaidah-kaidah pengkafiran. Seseorang yang mengkafirkan wajib memahami kaidah-kaidah ini. Oleh karena itu tidak semua orang berhak mengkafirkan. Hanya seorang ulama yang ilmunya sudah mencukupi saja yang boleh.
  3. Pihak yang mengkafirkan harus tahu benar-benar kondisi orang yang dikafirkan. Meskipun seorang ulama yang ilmunya sudah mumpuni akan tetapi dia hanya mendengar berita sana-sini belum pernah tahu secara langsung pemikiran seseorang maka ulama seperti ini juga belum boleh mengkafirkan kalau hanya berbekal kabar burung.

Keadaan-keadaan yang harus dipertimbangkan

  1. Harus benar-benar diketahui bahwa orang tersebut melakukan tindakan kekufuran dengan sengaja bukan tanpa sadar atau tanpa diniatkan untuk melakukan kekufuran.

Dan tidak berdosa bagi kalian melakukan hal-hal karena khilaf. Akan tetapi (kalian berdosa) bila melakukan hal tersebut karena hati kalian memang menyengaja. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al Ahzab:5)

  1. Harus diketahui bahwa orang yang melakukan tindakan kekufuran itu bukan karena dipaksa.

Barang siapa yang kufur kepada Allah setelah mereka beriman (maka dia akan mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali orang-orang yang dipaksa sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan …….” (QS. An Nahl:106)

  1. Tidak mengkafirkan seseorang karena kesalahannya dalam melakukan takwil suatu hukum sehingga tanpa sadar dia telah berbuat kekufuran.

Disebutkan dalam kitab Al Mughni(VIII/31), “Apabila seseorang menganggap bolehnya membunuh orang-orang yang dilindungi (darahnya) dan mengambil harta-harta mereka bukan karena kerancuan pemahaman maupun karena suatu Takwil maka orang tersebut dihukumi kafir. Akan tetapi bila melakukannya karena Takwil, seperti kaum Khawarij, kebanyakan ahli fikih tidak menghukumi mereka kafir sekalipun mereka ini menghalalkan darah dan harta kaum muslimin Karena menurut persangkaan mereka perbuatan ini dilakukan dalam rangka taqarrub kepada Allah. Perbuatan orang-orang khawarij seperti ini tidak dinilai kafir oleh para ahli fikih, karena mereka melakukan hal ini berdasarkan takwil”

Disebutkan dalam kitab Fatawa Syaikul Islam Ibnu Taimiyah(13/30)-Majmu’ Ibnul Qasim-“Bid’ah kaum khawarij muncul karena kesalahan pemahaman mereka terhadap Al Qur’an namun mereka tidak bermaksud menentangnya. Mereka hanya memahami Al Qur’an dengan cara yang bukan semestinya. Mereka beranggapan bahwa mengkafirkan pelaku dosa besar adalah wajib”

Dalam kitab Al Majmu’ 28/518 Ibnu Taimiyah berkata, “Para imam sepakat mencela dan menyatakan sesat golongan khawarij. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang kekafiran mereka”, dalam kitab yang sama (7/217), beliau berkata “ Sesungguhnya tidak ada seorangpun sahabat nabi baik Ali bin Abi Thalib maupun yang lainnya mengkafirkan mereka. Mereka menghukumi orang-orang khawarij sebagai orang-orang islam yang melakukan tindakan zalim dan melampaui batas sebagaimana disebutkan dalam berbagai atsar.”

Masih dalam kitab yang sama (25/518) beliau berkata “Dan ini juga merupakan pendapat imam yang lain tentang orang khawarij”

Kemudian pada kitab tersebut (3/288) dia berkata “Nabi memberi perintah untuk memerangi orang-orang khawarij yang keluar dari agama ini. Oleh karena itu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib memerangi mereka begitu juga para sahabat, tabi’in dan orang-orang setelahnya. Meskipun begitu ternyata Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Waqqas dan para sahabat lainnya tidak mengkafirkan mereka. Mereka dihukumi sebagai orang muslim, sekalipun mereka diperangi. Oleh karena itu Ali tidak menahan istri-istri dan anak-anak mereka juga tidak merampas harta-harta mereka”

Demikianlah kaidah pengkafiran yang harus benar-benar dipahami.

Tulisan dalam blog ini nantinya merupakan sebuah bentuk pembelaan kami atas tuduhan-tuduhan yang diberikan kepada Ahlussunnah. Saya akan mengomentari tuduhan salafyindonesia.wordpress.com semampu saya. Dan perlu saya tekankan disini bahawa kita beragama dengan maka mari kita berbicara agama denga ilmu juga.

Tulisan ini saya ringkas dari Syarah Kasfu Asy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang merupakan penjelas dari kitab Kasyfu Asy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.