Selasa, 20 November 2007

Ziarah Kubur dilarang (bagian 1) ?

SalafyIndonesia menuliskan : Kelompok Wahaby (Jama’ah Takfiri) yang menyandarkan pendapatnya pada fatwa Ibnu Taimiyah menyatakan akan pengharaman ziarah kubur. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid: 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadis yang lemah (Dzaif), bahkan dibikin-bikin (Ja’li) ”. Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadis bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini diikuti secara fanatik dan membeo oleh semua ulama Wahaby, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama-ulama Wahaby lainnya. Selain itu, mereka berdalih dengan beberapa ayat al-Quran dan hadis yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kaum muslimin.

Di dalam islam ziarah kubur itu merupakan syari’at bertujuan agar orang yang melakukannya bisa mengambil pelajaran dari kematian yang telah mendatangi penghuni kubur dan dalam rangka mengingat negeri akhirat meskipun sebelumnya Rasululah Sallallahu Alaihi Wasallam melarangnya sebagaimana hadits berikut :

Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” (HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta'ala fi Ziyarati Qabri Ummihi)

alam riwayat An-Nasa`i disebutkan: “Siapa yang ingin ziarah kubur maka silahkan ia berziarah, namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[1][2]

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada ibrah/ pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad 3/38, 63, 66, Al-Hakim 1/374,375 dan ia mengatakan: “Shahih di atas syarat Muslim.” Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz hal. 228 mengatakan, kedudukan hadits ini sebagaimana dikatakan Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu disebutkan faedah lain dari ziarah kubur. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.”[3]


Dalam riwayat Ahmad dari Buraidah radhiallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:“Agar ziarah kubur itu mengingatkan kalian kepada kebaikan.”[4]


Dalam riwayat Al-Hakim dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu disebutkan: “Karena ziarah kubur itu melembutkan hati dan mengalirkan air mata, serta mengingatkan pada akhirat namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[5]


Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Ziarah kubur ini awalnya dilarang karena masih dekatnya masa mereka (para shahabat) dengan masa jahiliyah. Sehingga bisa jadi ketika melakukan ziarah kubur, mereka mengucapkan perkataan-perkataan jahiliyah yang batil. Maka ketika kaidah-kaidah Islam telah tegak, kokoh dan mantap, hukum-hukum Islam telah teratur dan terbentang, serta telah masyhur tanda-tandanya, dibolehkanlah bagi mereka untuk ziarah kubur. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membatasinya dengan ucapan beliau: namun jangan kalian mengucapkan hujran” (Al-Majmu’, 5/285)


Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Semua hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang dimaukan secara syar’i.” (Subulus Salam, 2/181)

Bagaimana ziarah bagi wanita ?

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang bolehnya ziarah kubur bagi laki-laki[6]. Namun berbeda halnya bila berkenaan dengan wanita. Mereka terbagi dalam tiga pendapat dalam menetapkan hukumnya:

  1. Makruh tidak haram. Demikian satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dengan dalil hadits Ummu ‘Athiyyah radhiallahu 'anha:

Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami) untuk mengikuti jenazah, namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.”[7]

  1. Mubah tidak makruh, berdasarkan dalil dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha juga yang dikeluarkan Al-Imam Muslim tentang doa ziarah kubur yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah ketika ia berkata: “Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?”
    Beliau mengajarkan: “Katakanlah: “Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian. (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)
  2. Haram, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.” (HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa`, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa` Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa`ul Ghalil no. 762)

Ada hadits lain yang datang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan.” (HR. An-Nasa`i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur) Namun sanad hadits ini dha’if sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah ketika membawakan hadits no. 225.

Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu 'anhuma berkata: “Kami mengubur mayat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah selesai, Rasulullah kembali pulang dan kami pun pulang bersama beliau. Ketika beliau bersisian dengan pintu rumahnya, beliau berdiri. Tiba-tiba kami melihat ada seorang wanita yang datang dan ternyata dia adalah Fathimah putri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bertanya:

Apa yang membuatmu keluar dari rumahmu, wahai Fathimah?”

Ya Rasulullah, aku mendatangi keluarga orang yang meninggal di rumah itu untuk mendoakan rahmat bagi mereka dan menghibur mereka (berta’ziyah),” jawab Fathimah.“Mungkin engkau sampai ke kuburan bersama mereka,” kata Rasulullah. Aku berlindung kepada Allah dari melakukan hal itu. Sungguh aku telah mendengar apa yang engkau sabdakan dalam masalah itu,” jawab Fathimah. Seandainya engkau sampai mendatangi kuburan bersama mereka, niscaya engkau tidak akan melihat surga sampai surga itu bisa dilihat oleh kakek ayahmu,” sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. An-Nasa`i no. 1880, kitab Al-Jana`iz, bab An-Na’yu, namun hadits ini dhaif sebagaimana dalam Dha’if Sunan An-Nasa`i).

Sampai disini bisa disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat ulama mengenai masalah ini. Memang benar Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim mengambi pendapat yang ketiga. Tapi manakah pendapat yang paling benar ?

Dengan memperhatikan isi hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.”. Disitu ditekankan adalah wanita yang banyak berziarah bukan semua wanita yang berziarah. Sehingga wanita yang berziarah hanya sekali-kali tidaklah masuk dalam ancaman hadits di atas.

Kalau ada yang berargumen bahwa ada hadits lain yang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan, Maka penjelasannya sebagai berikut: Hadits ini elah diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhum. Semuanya membawakan dengan bentuk mubalaghah: , kecuali satu riwayat dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dari jalan Abu Shalih maula Ummu Hani’ bintu Abi Thalib radhiallahu 'anha dibawakan dengan lafadz:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائرَاتِ الْقُبُوْرِ

Kita perhatikan lafadznya tidak berbentuk mubalaghah. Namun perlu diketahui, rawi yang berkunyah Abu Shalih ini bernama Badzan atau Badzam. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu: “Ia perawi yang dha’if (lemah).” (Taqribut Tahdzib, hal. 59, no. 634)


Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Ia dha’if menurut jumhur nuqqad. Tidak ada seorang pun yang mentsiqahkannya kecuali Al-’Ijli sebagaimana dikatakan Al-Hafizh dalam At-Tahdzib, bahkan Isma’il bin Abi Khalid dan Al-Azdi mendustakannya. Sebagian yang lain menjelekkannya dengan suka berbuat tadlis. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, hadits no. 225, hal. 393-394 dan Al-Irwa`, 3/212)


Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa yang shahih dari hadits ini hanyalah yang menyebutkan lafadz mubalaghah karena bersepakatnya hadits Abu Hurairah dan hadits Hasan radhiallahu 'anhuma. Bahkan disepakati pula oleh hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dalam riwayat dari kebanyakan perawi, walaupun padanya ada kelemahan sehingga tidak pantas dijadikan sebagai syahid (pendukung), namun tidak menjadi masalah, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu. Dengan demikian yang dilaknat dari hadits tersebut adalah wanita-wanita yang banyak melakukan ziarah kubur. Adapun yang tidak sering maka tidaklah masuk dalam laknat tersebut.

Dari hal ini maka bisa diambil kesimpulan bahwa pendapat ziarah kubur bagi wanita adalah haram merupakan pendapat yang tidak kuat. Yang benar adalah haram jika wanita banyak-banyak berziarah kubur.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Laknat yang disebutkan dalam hadits hanyalah ditujukan kepada para wanita yang banyak ziarah kubur karena dalam hadits disebutkan dengan bentuk mubalaghah. Sebab pelarangannya mungkin karena bila wanita sering ziarah kubur akan mengantarkannya untuk menyia-nyiakan hak suami dan keluar dengan tabarruj. Di samping juga akan muncul teriakan-teriakan/suara keras dari si wanita di sisi kubur dan semisalnya. Dan dinyatakan bahwa bila aman dari terjadinya semua itu maka tidak ada larangan memberi izin kepada mereka untuk datang ziarah ke kubur, karena mengingat kematian dibutuhkan bagi laki-laki dan juga bagi wanita.” (Fathul Bari, 3/190)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata mengomentari ucapan Al-Imam Al-Qurthubi di atas: “Ucapan ini sepantasnya dijadikan sebagai sandaran/pegangan dalam mengumpulkan di antara hadits-hadits dalam pembahasan ini yang secara dzahir terlihat saling bertentangan.” (Nailul Authar, 4/147)

Tapi apakah hukumnya mubah atau makruh ?

Mengenai hal ini karena tidak ada dalil khusus selain pelarangan banyak-banyak berziarah maka hukum wanita berziarah sama dengan hukum laki-laki yaitu mustahab karena Rasulullah bersbda :

Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan

Mengenai pendapat Syaikh Bin Baz mengenai keharaman ziarah kubur (jika memang benar) bagi wanita maka itu adalah ijtihad beliau. Saya sendiri sebagai seorang salafy tidak diwajibkan sama sekali bertaklid kepada beliau. Saya meringkas pendapat-pendapat para ulama kemudian mengambil kesimpulan yang saya anggap lebih kuat hukumnya. Dan saya berpendapat bahwa hukum asal wanita berziarah adalah boleh.

Mengenai pernyataan Ibnu Taimiyah yang dimaksud “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadist bohong” adalah hadits-hadits yang menyatakan bolehnya pergi ke kuburan nabi untuk bertabarruk kepada beliau atau datang jauh-jauh hanya dengan niat mengunjungi kuburan Rasulullah dan saya juga berpendapat seperti itu. Hal ini tidak akan saya jelaskan disini akan tetapi akan saya jelaskan pada halaman tersendiri

[1] Hujran atau hujr adalah ucapan-ucapan yang batil (Al-Majmu, 5/285) atau kata-kata yang keji/ kotor, termasuk juga banyak berbicara yang tidak sepantasnya. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, hal. 986)

[2] HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 2033, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i

[3] HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2256, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta'ala fi Ziyarati Qabri Ummihi

[4] HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 5/355

[5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/376

[6] Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’ 1/190, karya Ibnul Qaththan

[7] HR. Al-Bukhari no. 1278 kitab Al-Jana`iz, bab Ittiba’in Nisa` Al-Jana`iz dan Muslim no. 2163, 2164, kitab Al-Jana`iz, bab Nahyin Nisa` ‘anit Tiba’il Jana`iz


Tidak ada komentar: