Selasa, 11 Desember 2007

Fitnah kepada Ibnu Taimiyah (bagian 2)

Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah ketika ditanya tentang bagaimana agar kita mengetahui di mana Allah? Beliau menjawab: “Dengan mengetahui bahwa Dia di atas langit ketujuh di atas Arasy. (As-Sunnah. Hlm. 5. Abdullah bin al-Imam Ahmad).

Rasulullah sallallahu’alaihi wa-salam pun mengakui dan menerima pernyataan tentang di mana Allah dalam sabdanya: Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pegunungan Uhud dan Juawainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Karenanya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: “Wahai Rasullullah! Adakah aku harus memerdekakannya?”. Jawab Rasulullah: “Bawalah wanita itu ke sini”. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Dimana Allah?”. Dijawabnya: “Di langit”. Rasulullah beranya lagi: “Siapa aku?” Dijawabnya: “Engkau Rasulullah”. Maka baginda bersabda: “Merdekakanlah wanita ini,karena dia adalah seorang mukminah”. (HR. Muslim dan Abu Daud).

Fitnah lainnya mengenai Ibnu Taimiyah adalah beliau dituduh memiliki paham Musyabihah dan Jahmiyah. Padahal ada sabda Rasullullah yang berbunyi: “ Janganlah kamu maki ad-dahr (masa), karena sesungguhnya Allah itu adalah Masa”. (HR. Bukhari Muslim).

Dan Ibnu Taimiyah sendiri menulis dalam Syarah al-Akidah al-Wasitiyah hlm. 17-19. Cetakan ketiga. Al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah al-Munawwarah. Saudi Arabia. “Beriman kepada Allah ialah beriman dengan apa yang disifatkannya sendiri (oleh Allah) tanpa tahrif (tidak merubah lafaz dan maknanya) mengikut sebagaimana di dalam kitab-Nya, mengikut sebagaimana disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa tahrif, ta’til (meniadakan sifat Ilahiyah, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada zat-Nya), tanpa takyif (diperbagaimana) dan tanpa tamsil (menyerupakan dengan makhluknya), sebaliknya beriman bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala (Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)”.

Beliau juga telah menyatakan dalam Mujmal Iktiqad Salaf. Hlm. 86, Dr. Abdullah bin Abdulmuhsin at-Turky. Cetakan pertama. 1413-1993. Muassasah ar-Risalah. Beirut. “Pemahaman yang selamat ialah yang pertengahan, bukan golongan Jahmiyah yang menta’til (sifat Allah) dan bukan juga golongan ahli tamsil seperti Musyabbihah”.

Fitnah lainnya adalah tuduhan bahwa Ibnu Taimiyah menuduh para ulama seluruhnya termasuk keempat Imam Mahzab penganut khurafat dan bid’ah. Padahal kenyataannya beliau adalah salah seorang yang telah mempertahankan, memperjuangkan dan menghidupkan kembali ajaran-ajaran para Imam mahzab tersebut. Justru para pengaku-aku pengikut paham Imam mahzablah yang sebenarnya menolak pemahaman Imam mahzab yang diikutinya. Semuanya dilakukan karena taklid, menerima dan mengamalkan pendapat ulama dan ustadznya yang menasabkan ajarannya kepada imam mahzab tersebut tanpa meneliti lagi pandangan mereka.

Contohnya, para pengikut mahzab Syafi’i, secara tidak langsung dan mungkin tanpa sadar telah menentang paham Imam Syafi’i mengenai khurafat tariqat sufi filsafat, tasawuf dan tariqat kebatinan: “Tasawuf dibina di atas kemalasan, jika sekiranya seseorang itu menganut tasawuf di awal siang (pagi), tidak akan sempat sampai Zuhur, dia sudah menjadi bodoh”. (Lihat Talbisu Iblis. Hlm. 159)

Imam Syafi’i juga berkata: “Siapa yang menganut agama ini (sufi) maka dia seorang yang zindik atau dengan kata lain dia adalah sufi yang zindik, maka pemahaman sufi sama seperti pemahaman yang menentang keimanan yang hak”. Dan juga berkata: “Saya lari meninggalkan kota Basrah karena di sana terdapat golongan zindik (sufi/tasawuf), mereka mengerjakan sesuatu yang baru yang mereka sebut dengan tahlilan”.

Hasan al-Basri rahimahullah berkata: “Tidaklah engkau ketahui sesungguhnya kebanyakan penghuni neraka ialah penganut sufi/tasawuf?”. (Lihat At-Tasawuf. Hlm 21. Dr. Mustafa Hilmi. Dar ad-Dakwah. Al-Iskandariah).

Fitnah terhadap Ibnu Taimiyah ialah bahwa ulama-ulama terdahulu dianggap sebagai penganut khurafat dan bid’ah. Padahal di dalam kitab-kitabnya seperti Majmu Fatawa yang berjumlah 37 jilid dipenuhi dengan nukilan fatwa-fatwa para ulama terdahulu seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali dan para ulama terkenal lainnya dari kalangan akidah, ahli tafsir dan para ulama hadist. Yang perlu kita garis bawahi adalah, sekalipun Ibnu Taimiyah mencegah dan banyak menyebut kemungkaran bid’ah dan kefasikan yang terjadi di zamannya, bukanlah berarti bahwa semua ulama di zaman itu telah dibid’ahkan atau dianggap fasik oleh ulama tersebut.

Ibnu Taimiyah difitnah bahwa beliau menentang orang-orang Islam yang menganut dan bertaklid kepada salah satu Imam Mahzab. Padahal para Imam Mahzab juga menentang pendapat tuduhan tersebut:

“Berkata Imam Syafie rahimahullah Ta’ala: Setiap apa yang telah aku katakan dan ada perkataanku itu yang bertentangan dengan (hadis) yang sahih, maka hadist Nabi Shallallahu’alaihi wa-sallam adalah lebih diutamakan dan janganlah kamu sekalian bertaqlid kepadaku”.

Imam Syafi’i juga berkata: “Siapa yang bertaklid pada sesuatu dalam pengharaman sesuatu atau penghalalannya sedangkan telah nyata hadist sahih yang bertentangan dengannya dan mencegah dari bertaklid karena diperintahkan beramal dengan sunnah, maka dia telah mengambil orang yang ditaklidkan itu sebagai Tuhan selain Allah subhanallahu wa-Ta’ala”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Hlm. 69. Muhammad Sultan al-Maksumi)

Berkata Imam Ahmad bin Hambal: “Dalam agamamu janganlah engkau bertaklid dengan siapapun dari mereka-mereka. Apa yang datang dari Nabi sallallahu’alaihi wasalam maka ambillah olehmu, kemudian ambil dari para tabi’in, adapun orang-orang yang sesudahnya, pendapatnya boleh diambil dan boleh ditinggalkan”. (Lihat Masail al-Imam Ahmad. Diriwayatkan oleh Abu Daud. Hlm. 277).

“Janganlah kamu bertaklid kepadaku, janganlah bertaklid kepada Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Thauri rahimahullah Ta’ala. Ambillah dari mana (atau bagaimana) mereka mengambil”. ((Lihat Masail al-Imam Ahmad. Diriwayatkan oleh Abu Daud).

Berkata Ibn Hazm: “Sesungguhnya para fukaha yang menjadi ikutan mereka membatalkan pentaqlidan kepada mereka dan sesungguhnya mereka mencegah para pengikutnya dari bertaklid kepada mereka. Dan yang paling kuat menentang (perbuatan bertaklid) ialah as-Syafi’i.” (Lihat Al-Ahkam fi Usul al-Ahkam. Hlm, 118. Tahkiq Ahmad Muhammad Syakir. Cetakan kedua. Dar al-Afaq al-Jadidah. Beirut.).

“Berkata Ali Hasan bin Abdul Hamid: Siapa yang tidak meninggalkan taqlid maka pada ilmunya tidak akan memberi banyak faedah”. (Lihat ‘Audah ila Sunnah. Hlm. 36).

Berkata Sanad bin Anan rahimahullah: “Ketahuilah sesungguhnya hanya dengan mengambil jalan mudah sehingga mendorong bertaklid adalah tidak digemari oleh seorang lelaki yang bijaksana. Sesungguhnya (bertaklid) adalah cara seorang yang bodoh lagi bebal dan si tolol yang keras kepala”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Hlm. 70. Muhammad Sltan al-Maksumi).

“Manusia telah sepakat bahwa para muqallid tidak terhitung sebagai kalangan ahli ilmu, bahwasanya ahli ilmu mengenali kebenaran melalui dalilnya”. (Lihat Hal Muslim Mulzimun Fittiba’I Mazhabun Mu’ayan Minal Mazhabil Arba’. Muhammad Sltan al-Maksumi).

Fitnah yang menimpah Ibnu Taimiyah lainnya yaitu bahwa Ibnu Taimiyah pernah mengatakan: “Duduknya Tuhan di atas ‘Arasy sama dengan duduknya Ibnu Taimiyah di atas kursinya dan turunnya Tuhan dari langit sama seperti turunnya Ibn Taimiyah dari mimbar dan Tuhan itu dilihat (di sebelah) atas, boleh ditunjuk dengan anak jari ke atas”.

Ternyata tuduhan ini, adalah berdasarkan buku “Rahlah Ibnu Bathutah”. Menurut para penyebar fitnah ini, Ibnu Bathutah mendengar dan melihat sendiri kejadian Ibnu Taimiyah berkata dan melakukan sebagaimana yang didakwakannya, yaitu: “Turunnya Tuhan sama sepeti turunnya beliau dari mimbar”.

Atas tuduhan di atas maka penjelasannya adalah sebagai berikut: Menurut catatan sejarah, Ibnu Bathutah sampai di Damsyik pada hari Kamis, 9 Ramadhan 727H. Ibnu Taimiyah dimasukkan ke penjara Damsyik pada bulan Sya’ban ditahun ynag sama.. Tercatat dalam sejarah bahwa Ibnu Taimiyah wafat pada malam 20 Zulqaidah 728H. Berdasarkan kejadian diatas, berarti Ibnu Bathutah, sebenarnya tidak pernah mendengar bahkan tidak pernah menghadiri majlis-majlis ilmu yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah. Persoalan yang timbul, bagaimana mungkin Ibnu Bathutah pernah menyampaikan ilmu di atas mimbar dan mendengar majlis ilmunya sedangkan setibanya Ibnu Bathutah di Damsyik, Ibnu Taimiyah stelah dimasukkan ke dalam penjara? (Lihat Syarah Hadist Nuzzul. Hlm. 2. zahir as-Syaawisy. Cetakan kelima. 1397H-1977M. Al-Maktab al-Islami. Beirut.).

Tidak ada komentar: